(Cerpen fiktif) Sofia Sephia


Tuhan, aku tahu cinta membutakan logika, tapi seharusnya kau tau bahwa Aku mencintainya dengan logika. Tak pantaslah di usia ku ini aku berteriak untuk bilang “aku mencintaimu”, kau tau, aku pun tau, rasa itu ada. Dan dengan logika, perasaan itu kita beri nama cinta.

Kebaya ku Nampak kemilau terpantul cahaya matahari pagi. Sanggul konde ku Nampak serasi dengan untaian melati. Make-up ku yang tipis mengartikan bahwa hari ini, aku tidak mengenakan topeng.

Aku mengintip pelaminan dari ruang ganti pengantin.

Disana, aku akan berdiri menjadi ratu sehari. Bagi kebanyakan orang, hari ini akan menjadi hari yang sacral. Kedua keluarga akan disatukan dalam satu ikatan. Sepasang orang tua akan menangis mendoakan. Bahkan silsilah seorang anak akan terangkatkan.

Mereka bilang aku cantik, teramat cantik, karena itu, laki-laki itu mau menikahiku. Mereka bilang aku beruntung, benar-benar beruntung, karena itu, laki-laki itu mau menikahiku. Mereka bilang aku buta, mungkin cinta buta, karena itu, laki-laki itu mau menikahiku.

Ibu, coba kau perhatikan kedua orang perempuan yang berbedak menor itu, mereka pasti membicarakan ku. Aku yang ingin bahagia di hari ini mulai ragu, apakah aku akan bahagia? Mereka saling berbisik-bisik ke telinga, seolah-olah aku ini orang yang tidak pantas untuk bahagia. Coba ibu perhatikan laki-laki berkumis tipis itu, ia memiliki pandangan yang aneh. Pandangan yang ku artikan seperti tidak suka dengan apa yang telah ada padaku. Pandangan itu terlalu jahat, pandangan yang bisa membunuh kebahagiaan ku.

Ayah, tolong gandeng tangan ku, agar aku tidak jatuh saat berjalan nanti. Aku tidak bisa memperhatikan ke sekeliling ku, aku takut. Mungkin aku hanya bisa menunduk. Seharusnya pada suasana sacral ini mereka diam, bukan malah berbisik-bisik yang menabungkannya menjadi kegaduhan. Ayah, tolong tutup kuping ku, agar aku tidak berubah fikiran.

Sayangku, andai kau bisa melihatnya, orang-orang itu tersenyum seolah-olah ikut bahagia pada pernikahan kita, padahal tidak. Aku tidak mau menuduh mereka semua hadir hanya karena urusan perut atau perkara telah ad nama pada kartu undangan, aku yakin mereka hadir untuk membicarakan hari ini.

Hari yang akan dibicarakan oleh semua orang selama seharian penuh, seminggu, setahun, atau bahkan esok dan esok lagi.

Mereka memanggilku matre, karena ingin menikahi laki-laki mapan. Mereka menyebutku jalang, karena ingin menikahi laki-laki yang usianya jauh lebih tua, yang mungkin akan meninggal cepat. Mereka bahkan menamaiku taik, karena ingin menikahi laki-laki yang sudah pernah menikah. Ah, masa bodo!

Tuhan, dalam hal ini aku sungguh memakai logika. Kau tau? Ibu bilang, ia merestuiku dengan nya karena ia mapan meski tak tampan. Dan menurut ayah, itu adalah bentuk kesempurnaan calon suami. Aku memang membatasi latar belakang calon suami kupada keduanya. Karena bagiku, jika terlalu berlebihan, mereka pasti menolaknya.

Aku mengerti mengapa orang-orang itu membicarakan ku, aku sunggung mengerti. Seharusnya aku tidak berada pada posisi ini. Mungkin aku harus mengubahnya? Memepermalukan diriku seumur hidup? Siapa yang akan tahu, kejadian pada satu hari saja akan membekas berhari-hari?

Tidak bisa! Menikah itu adalah sebuah komitmen ku. Aku tidak mau anak cucu ku kelaparan. Aku tidak mau ayah ibu ku menangis dengan penyesalan. Aku tidak mau derajat keluarga ku terhapuskan. Aku harus menikahinya karena aku percaya, ia pun siap.

Pernikahan memang bukan hanya sebuah ikatan diatas kertas, tapi aku tidak bisa dengan utuh mengikatnya. Sungguh! Aku membebaskannya untuk pergi ke istri pertama. Dan aku akan setia menunggu dirumah sebagai yang kedua.

“Sofiaaaaa.” Seseorang memanggil ku untuk segera bersiap ke pelaminan.
Nyanyian wedding bell pun terdengar. Aku berjalan ke pelaminan. Hari ini mungkin akan menjadi hari yang lebih lucu di banding pesta ulang tahun seorang batita. Jawaban akan masa depan ku, akan ku tentukan dari hitungan langkah. Pada setiap langkah aku menghitung jawaban ku kelak, kanan ku sebut “iya”, sementara kiri akan ku sebut “tidak”. Kau tau mengapa aku melakukan ini? Karena kaki yang baik, akan membawa mu ke tempat yang lebih baik. Aku menarik nafas panjang, mulai berjalan, dan menghitungnya dalam hati.
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iyaaa
Tidak?! Tunggu! Apa? Tidak? Apakah ini jawaban kaki ku? Apakah ini keputusan Tuhan ku? Jawabannya tidak??!!

“Maaf bapak, saya tidak jadi menikah”

Mereka sontak melotot. Seraya mencoba mendengar suara cicak yang sayup-sayup dari atas dinding. Memastikan apakah kalimat yang ku ucapkan itu benar-benar serius. Aku menoleh kesekitar, pandangan itu luluh, luntur seperti terendam deterjen. Ada yang tersenyum lega, ada terbelalak tak percaya, bahkan ada yang bertanya kesana kemari untuk memastikan pendengaran mereka. Aku yakin kedua orang tua ku akan marah, tapi tak akan semarah calon mempelai ku. Tapi ada satu wajah yang menduhkan ku, seorang perempuan yang duduk diantara himpitan para tamu undangan, tamu bersanggul kecil itu mengelus-ngelus perut buncitnya sambil berbisik, “Terimakasih, Sofia”. Dengan satu tetes air mata.



Hari yang akan dibicarakan oleh semua orang selama seharian penuh, seminggu, setahun, atau bahkan esok dan esok lagi. Ah, masa bodo!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roti Priangan Sukabumi

Cuangki

Dongeng Sederhana Untuk Adik