(Cerpen Fiktif) Cucu untuk Ibu

“Aku gay!” Kalimat pertama yang kau ucapkan di malam pertama kita.
Aku tahu ini tidak mudah, dan pernikahan ini tidak akan semulus apa yang orang tua kita rencanakan. Kita pun sama-sama tahu, apa yang sudah kita tinggalkan demi keinginan orang. tua Kau yang mapan dan tampan, dipilih oleh orang tua ku. Dan aku yang berasal dari lulusan universitas ternama, dianggap layak oleh orang tua mu. Ditambah lagi dengan kedekatan keluarga kita yang menginginkan persahabatan kedua keluarga menjadi ikatan seutuhnya. Lalu bagaimana sekarang?
“Ayah sama Ibu, gak pernah tahu kalau aku gay. Aku menikah, karena aku nggak mau ada yang curiga. maka ku iya-kan saja permintaan mereka untuk menikah.”
Penyataan bodoh macam apa itu. Kau tak pernah tahu apa yang sudah ku tinggalkan. Beasiswa S2 ku, hubungan yang sudah kujalin selama tiga tahun dengan pacarku, dan rencana pernikahan kami. Kemudian, ketika mereka menikahkan kita berdua untuk mengharapkan cucu, sekarang semuanya terkesan sia-sia.
Tak ada yang bisa ku katakana lagi. Kulepaskan konde beserta hiasan di kepala. Ku ganti kebaya lalu kebaringkan badan diatas kasur penuh melati. “Ya sudah, sekarang kita istirahat aja.”
Kau pun tidur disamping ku.
Setiap hari. Kita tidur dikamar yang sama, satu ranjang. Tak pernah bersentuhan tubuh. Tak pernah meminta bersetubuh. Guling membatasi kita setiap malamnya. Seperti tembok yang sama-sama sudah kita ketahui, tanpa disepakati. Kau tak pernah menyentuh area ku, begitupula sebaliknya.
Setiap hari. Aku memasak sarapan untuk mu sebelum bekerja. Membersihkan rumah ketika kau tidak ada. kemudian, mencuci bajumu setelah kau pulang.
Setiap hari. Kau menyimpan uang belanja diatas meja kamar. Mengirimiku sms ketika kau dikantor. Kemudian, membawa makanan setelah kau pulang.
Rutinitas yang sama, diantara kedua orang yang sama. Setiap harinya.

Suatu hari, ibu mu berkunjung kerumah, dan menanyakan, “Bagaimana? Apa sudah isi?” Aku diam, mencoba mengartikan maksud ucapannya. “Kamu sudah hamil belum? Ibu udah gak sabar mau gendong cucu.” Aku tersenyum, mencoba menenangkan ibu, bahwa itu butuh waktu.

Seperti biasa, selalu ada sms masuk. Ku duga, itudari mu, yang sekedar bilang, “jangan lupa makan siang.” Atau, “mau dibawakan apa untuk makan malam?”. Ternyata tidak. Kali ini, sms ku datang dari seseorang yang membuat rindu itu ada lagi.
“Hay Novalisa, apa kabar? Sudah lama aku gak liat kamu. Bisa kita ketemu sore ini? Kebetulan, aku dipindah tugaskan dari kantor, sekarang aku di Bandung. Rolandio.”
Aku seakan membeku selama beberapa detik setelah membacanya. Ia yang tak pernah ku fikirkan kembali setelah menikah, kini datang lagi. Aku rindu, rindu sekali. Kemudian ku lihat cincin yang melingkar di jari ku. Mengubah perasaan selama tiga tahun kebelakang. Kini aku sudah bersuami. Kurasa tak usah kutemui ia lagi.
Aku mengenal mu. Laki-laki yang tak pernah menyerah ketika rindu. Kau pun kembali mengirimiku pesan singkat itu. Tuhan, aku memang rindu. Rindu sekali. Dan setelah seminggu berturut-turut, “Dio, Ku tunggu jam 5 sore di Ciamplas-walk.” Jawab rinduku.

Kau tak pernah berubah. Kaos, celana pendek, dan sandal gunung. Mengingatkan ku semasa kuliah dulu. Ku fikir, pembicaraan kita akan sedingin es. Nyatanya, rindu itu mencair dan membuat seakan waktu kembali mundur. Sama seperti saat tiga tahun lalu. Kau yang selalu tertawa lantang, dan aku yang selalu ikut tertawa mendengar cerita mu.
Hingga akhirnya pertanyaan mu jatuh di satu titik, “Bagaimana pernikahan mu?” kali ini, wajahmu Nampak serius.
Aku diam selama beberapa detik. Kemudian kulontarkan senyuman. “Baik.”
“Apa kabar suami mu?”
Ku tengguk minuman didepan ku untuk melonggarkan tenggorakan, lalu ku jawab, “Baik juga.”
“Aku ikut seneng, kalau kamu seneng. Meskipun kita udah bukan apa-apa lagi, tapi kamu mesti tau, aku selalu ada buat kamu.”
Selalu seperti ini. menemui mu tak pernah ingat waktu. hingga aku pun harus sampai dirumah pukul 9 malam, didahului oleh suami ku yang selalu pulang jam 7 malam. Laki-laki itu tertidur diatas meja makan. Dengan sebungkus sate utuh, yang kurasa sudah dingin.
“Assalamualaikum.” Salam ku.
Kau pun dengan cepat membuka mata dan segera bangun. “Eh, ayok kita makan.” ucapmu. Tanpa bertanya dari mana aku, ataupun pergi dengan siapa aku.
Hari itu Nampak begitu dingin.
Hari itu, aku mulai meragukan fungsi cincin di tangan kita berdua.

Akhirnya setiap akhir pekan, aku menemui Dio. Kekasihku saat kuliah di Jakarta dulu. Bertemu dengan Dio dua hari seminggu rasanya dapat menghangatkan diri dari suasana rumah ku yang dingin selama lima hari dengan Anda, Suamiku.
“Apa kabar ibu mu?” Tanya Dio.
“Baik.” Jawabku sembari menunduk. “Ibu, mau cepat cucu.”
“Yasudah, bikin aja.” Jawab mu enteng. Aku diam. Kemudian kau bilang, “Mungkin ibu mu gak tahu, kalau pernikahan memang mengikatkan jari dengan cincin. Tapi belum tentu bisa mengikatkan ranjang. Apa yang kau tandatangani di buku nikah, tidak bisa secara otomatis mengikat keduanya. Mungkin nama kalian memang sudah terikat, tapi hati kalian nggak.”
“Jangan bicara seolah-olah kamu berpengalaman. Kamu saja belum menikah.”
“Jangan bicara seolah-olah kamu terikat. Kamu saja seperti belum menikah.” Kau memajukan kepala kemudian merendahkan volume biaca mu. “Aku tak perlu mengikat mu, kau sendiri yang mengikatkan diri pada ku.”
“Suami ku tak pernah mengikatku.” Aku diam. Kau diam. Suasana itu kembali beku. “Suamiku gay.” jujur ku pada nya.
Aku pulang, kembali bukul 9 malam. Suamiku masih menunggu ku. Kali ini ia bangun, dan tersenyum. “Ayok kita makan.” ucapnya sambil menunjukan dua piring nasi goreng sapi.
Hari itu kembali dingin.
Hari itu, aku mulai meragukan status KTP ku sebagai istri.
Tiba-tiba kau mengeluarkan seikat bunga mawar putih, bertuliskan “Happy Anniversary.” Ahh, sudah setahun ternyata. “Maaf kalau selama setahun ini aku belum bisa menjadi suami dan laki-laki seutuhnya.”
Ingin sekali kukatakan ini sejak lama, “Ibu mau kita punya anak, ia mau kita ngasih dia cucu.”
“Tapi, Nov,”
“Aku tahu, kamu gak bisa.” Potong ku.
Suamiku diam.
Lalu kutinggalkan ia beserta mawar putihnya kedalam kamar.

Aku kembali menemuinya.
Kali ini, rasanya aku kecanduan untuk terus menemui Dio. Rasanya tak bisa berhenti.
“Selamat ulang tahun.” Ucap Dio beserta kalung mas putih.
Aku tersenyum, kemudian memeluknya. Rasanya hangat, hangat sekali. Tak ingin aku pulang kerumah yang dingin itu malam ini meskipun sudah mengantuk. Restoran pun segera tutup selarut ini. Dio membawa ku ke sebuah hotel dipinggir kota. “Kalau menurut mu rumah itu begitu dingin, aku harap hotel ini bisa terasa lebih hangat.” Kemudian ia pamit untuk pulang.
“Dio!” aku memeluknya dari belakang. “Ini bukan perkara tempat, tapi kamu. Kamu tempat yang hangat. Kalau kamu pergi, hotel ini sama saja dengan rumah. Sama-sama dingin.”
Pintu tertutup. Dio membalikan badan, memeluku erat, kemudian rasanya bibirku basah. Kancing baju ku pun terlepas. Kami menandak-nandak di kasur hotel itu. Cukup lama. Mungkin itu rindu. Mungkin cinta, atau juga nafsu.
Nafkah batin yang kudapat mungkin bukan dari suami ku. Tapi bagiku sama saja. Toh, suamiku tidak bisa memenuhinya. Maka emosi yang ku inginkan bisaku dapat dari Dio. Orang yang seharusnya jadi suami ku.

Aku pun pulang pukul 9 pagi. Kini jauh dari kebiasaan. Ada motor bebek didepan rumah milik suami ku. Ku rasa hari ini ia tidak pergi kerja. Ku rasa ia marah menunggu ku pulang. Ah, biar saja.
Dua piring mie goreng diatas meja makan kulihat utuh dan dingin. tak ada suamiku disana. Tapi diluar dugaan ku, ia terbaring dikamar. Wajahnya pucat, menggigil, dingin. aku sesegera mungkin mengecek keadaannya.
Ia pun bangun, “Sudah makan?” pertanyaan macam apa itu. Sudah jelas-jelas ia sakit, kenapa masih bertanya tentang isi perut ku.
“Andaaa, kamu itu sakit. Kamu istirahat saja dulu. Biar aku siapin sarapan sama obat.” Kali itu rasanya seperti akan ada serangan musuh. Aku bergerak dengan cepat menyiapkan ini itu untuk suami ku. Mengecek suhu badannya. Menyuapi makan nya. Hingga mengganti pakaiannya diatas ranjang. Setiap kali ia menggigil dimalam hari, aku masuk kedalam selimutnya lalu kupeluk ia erat-erat. Tak ada lagi guling pembatas kami. Yang ada hanya aku dan Anda yang berada ditengah kasur tanpa benteng yang berada ditengah kami seperti biasa.
Kudengar suara handphone ku yang berdering sejak tadi. Ku segera bangkit. Kemudian ku lihat pesan itu berisikan, “Nova, kamu baik-baik saja?” kemudian ku ingat, kemarin sore aku absen menemuinya.
Harus ku jawab apa? Aku tak pandai berbohong. “Maaf, suami ku sakit.”
“Kamu sudah makan?” suami ku tiba-tiba muncul dan duduk tak jauh dari tempat ku berdiri.
Aku menoleh, “Kamu udah baikan?”
Ia mendekat, menempelkan dadanya kearah ku, kemudian mencium keningku saat kami berdiri. “Selamat ulang tahun.” Ucapnya setengah berbisik.
Waktu serasa berhenti. Aku pun mulai mempertanyakan, apakah ia benar-benar gay?
Kami duduk didepan meja yang sama. Menikmati bubur yang ku buat pagi ini. Makannya begitu lahap. Sesekali ia menatapku sambil tersenyum. Sementara aku, terus makan dan mengartikan ini semua. Perasaan ini?
“Mmm, rasanya aku jatuh cinta.” Ucap Anda sangat hati-hati.
Tolong jangan sebut namaku.
“Namanya Gita.” Nama yang ia sebut, bukan namaku, bukan nama yang ku kenal. Bahkan kurasa bukan laki-laki. “Gitara Budi Andri,” lanjut Anda, “Laki-laki yang baru bekerja di kantor sejak satu bulan lalu.”
Damn!!! He’s realy gay!  Ku dengarkan saja apa maunya, tanpa komentar, tanpa basa basi.
            “Dan ku rasa, ia pun gay.”

            Tak usah lah kita sebut kita ini rumah tangga. Kau ada yang punya. Aku pun ada yang punya. Tak usah lah kita sebut kita ini suami istri. Kau tak pernah ingin menyentuh ku, dan aku pun tak pernah ingin menyentuhmu. Bahkan tak usah lah kita sebut ini pernikahan. Kau ku izinkan bersama pacar mu, dan ku harap kau izinkan aku bersama pacar ku.
            Aku kembali menemui Dio. Hubungan kami yang sebelumnya hanya sekedar teman bicara kini lebih dari itu. Ku temui ia setiap minggu. Apa yang tak kudapat dari Anda, ku dapat dari dio.
             Hingga suatu minggu, Dio tak datang di café biasa kita bertemu. Dio tak bisa ku hubungi. Dan ku fikir, ah mungkin dia sibuk.
             Minggu berikutnya, Dio pun tak ada disana. Dio tak ada lagi kabarnya. Dan kali ini ku fikir, ah mungkin ku temui saja.
               
             BANK itu Nampak megah. Tempat Dio bekerja, tanpa sosok dan baunya. “Ada yang bisa kami bantu, bu?”
             Ku tanyakan ini ragu-ragu, “Maaf pak, Pak Dio nya hari ini masuk kantor tidak ya?”
             “Maaf bu, dua minggu yang lalu Pak Dio sudah tidak bekerja lagi. Kalau boleh tahu, Ibu ini siapa ya?” Jawabnya dengan nilai sopan yang tinggi.
             “Sayaaaa,” Bagaimana ku jelaskan posisi ini, “Pacarnya.”
             Raut wajah itu berubah menjadi haru. Ia mempersilahkan ku duduk dulu kemudian mengambilkan sebelas air. Laki-laki tadi kemudian duduk tak jauh dari sana, ia mencoba untuk mengutarakan apa yang selama ini ingin ku lontarkan, “Sejak dua minggu yang lalu, Pak Dio sudah tidak bekerja disini lagi. Ia pegawai yang baik. Tapi sangat disayangkan, ia meninggal akibat kecelakaan motor.”
            Rasanya seperti terkena ledakan bom.
Aku pun pingsan disana.

            “Sayaaang, sayaaang, kamu sudah sadar?”
            Ah, kasurnya nyaman. Kucoba membuka mata ku perlahan-lahan. Ku lihat sayup-sayup, ada Ayah dan ibu ku, juga tidak ketinggalan ada Ayah dan Ibu mertua ku.
             Dengan wajah merona, ibu mertua langsung memeluk ku begitu ia tahu aku sudah sadar “Selamat sayang, kamu akan jadi Ibu.”
             Mataku pun terbelalak. “Ibu? Aku?”
             “Iya sayang, kamu hamil.”
             Ku cari sosok itu. Sosok suami ku. Anda hanya berdiri di sudut ruangan. Menatap ku dalam-dalam, Sikap yang tak bisa ku artikan apa maksud nya. Ia kemudian mendekat, duduk dipinggi kasur dan menggenggam tangan ku, “Terimakasih telah menjadikan ku laki-laki seutuhnya.” Kemudian Anda menatap kesekeliling, “Ini cucu untuk ibu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roti Priangan Sukabumi

Cuangki

Dongeng Sederhana Untuk Adik