(Cerpen Fiktif) Di Ujung Kabel Telfon itu.

Kriiing, kriiiiiing!

Ahh, jam berapa ini? bisakah telfon ku berhenti berdering di pagi buta ini?

“Hallo?” Panggil ku, antara sadar dan tidak, antara ingin bangun dan tidak. ku coba mencari tahu suara siapa dibalik telfon itu.
Sayup-sayup aku mendengar, “Haaa..” ia terbata-bata, “Halloo, Raka?” suara ituu, “Ini Dannisa.” Aku kenal suaranya. “Maaf, aku ganggu kamu malam-malam gini. Kamu udah tidur ya?”

Pertanyaan macam apa itu? Ini jam satu pagi, jelas-jelas pegawai asuransi seperti ku harus tidur lebih awal karna kewajiban kerja pagi. “Ada apa Danis?” haha. Aneh ya, rasanya aku sering mengucapkan kalimat itu padanya.

“Andra.” Hahaha. Dan kau lebih sering mengucapkan kata itu padaku. “Kita udah jalan tiga tahun. Kamu tahu, aku kenal dia sejak kita sama-sama kuliah. Kamu juga tahu, kalau aku sayang banget sama dia. Selama tiga tahun ini, udah banyak masalah yang muncul, dan semuanya bisa kita lewatin berdua. Mulai dari masalah keluarga, kampus, sampe hal kecil apapun pasti bisa kita lewatin.” Dannis diam. Sadar bahwa tidak ada sahutan di ujung kabel telfonnya. “Raka? Hallo? Raka, kamu masih disitu?”

Rasanya posisi ku sekarang sama seperti anak batita. Bedanya, saat diatas tempat tidur, ia diceritakan dongeng putri. Sementara aku? Aku saja bingung harus menanggapi apa pada cerita-cerita mu. “Iya Dannis.”

“Kecuali ini. mungkin bego! Iya, aku emang bego! Yang udah 100% percaya sama dia, tapi ternyata dia sama sekali gak ngehargain kepercayaan aku. Aku kecewa, aku gak tau harus kemana sekarang selain cerita sama kamu.” Suaramu terbata-bata. “Raka?”

“Iya, Dannis.” Meskipun mata ku tidak kugunakan malam ini, tapi telingaku tidak pernah absen.

“Tiga tahun Raka, tiga tahun aku sama dia. Aku gak nyangka kalo dia tega nyakitin aku kaya gini. Aku bingung. Aku emang benci sama dia. Tapi aku lebih benci sama diri ku sendiri.” Ia mulai menangis. Lalu tak ada suaranya lagi.

“Dannis?” Kali ini ganti aku yang mencarimu di ujung kabel telfon. “Dannis? Hallo? Dannis, kamu masih disitu?” ku buka mata, mencari tahu apakah telfon ini sudah terputus atau belum. “DANNIS??” aku mulai panic.

“Iya, Raka.” Suara mu setengah berbisik. “Andraa Rakaaa, Andraaa..”
“Andra kenapa? Selingkuh?”
“Nggak.”
“Pake narkoba?”
“Nggak juga.”
“Terus?”
“Diaaa,” kau menarik nafas panjang, “Aku yang salah.”

“Hah?” Dasar cewek! “Yaudah kalau kamu salah minta maaf aja.”
Kemudian kau menangis lagi. Bahkan lebih nyaring. “Aku emang bego, Raka!! Aku emang bego banget!!!” lalu ku dengar suara benturan kepala yang kau pukul berkali-kali.

“Dannisaaaaa, Semua orang pasti pernah bikin salah, termasuk aku, kamu, atau Andra, namanya juga manusia.” Yaa, meskipun aku tidak kenal siapa itu Andra, tapi mari kita generalisasikan saja orangnya.
Ia mulai berhenti memukuli dirinya sendiri, “Aku gak tau harus seneng atau nggak sekarang.”

Jangankan kamu, aku aja gak tau harus seneng atau nggak sekarang. Mendengarkan suaramu rasanya nyaman, tapi ketika kau menyebutkan namanya, rasanya aku gatal! Aku serius, kalau kau tanya apa aku bahagia atau tidak ditelfon kamu sekarang, aku pasti diam, sekalipun aku berusaha mencari-cari jawaban tapi pasti berujung dengan ujaran, aku tidak tau.

“Aku fikir, Orang seneng atau nggak tergantung gimana situasi sama kondisinya. Ada orang yang dikasih hadiah sepeda, tapi dia gak punya kaki, hadiah itu malah bakal bikin dia sedih. Tapi ada orang yang gak punya kaki bisa bahagia, karena punya kesempatan digendong sama orang yang dia sayang. Penempatan seneng atau sedih ini pasti bisa berubah tergantung situasi sama kondisinya. Kalau situasi sama kondisinya gak bisa berubah, berarti cara pandang kita yang harus dirubah.”

Teorimu benar juga. “Terus? Perasaan kamu sekarang? Seneng atau sedih?”
“Mungkin perasaan aku sekarang, sama kaya orang yang gak siap di kasih kebahagiaan.”
“Maksud kamu?”

“Selama tiga tahun aku sama Andra jalanin hidup sama-sama. Aku percaya dia bakal jadi calon suami aku nantinya. aku percaya, dia pusat kebahagiaan aku, dan aku pusat kebahagiaan dia. Aku kasih semuanya buat dia. Semuanya.”
“Dannis, jangan bilang kalau..”

“Iya, aku kasih semuanya,” suaramu makin rendah, “termasuk diri aku.” Bahkan hampir tidak bisa ku dengar.
“Berapa kali? Berapa kali kalian main gila?” Tanya ku dengan nada tinggi.
Kamu menangis lagi. “Aku gak tau Rakaaa, aku gak tauuu.”
“Dannis.” Panggil ku lembut, mencoba terus mencari tahu keadaan mu sekarang.

“Yang aku tahu,” kau terdengar ragu mengutarakannya, “sekarang aku isi.”
Selesai sudah. Bukan nasib mu, tapi nasib ku. Kau mengenal laki-laki itu sejak yang tiga tahun yang lalu, dan kau sudah memberikan semuanya. Bagaimana jika posisi ini digeser. Aku mengenal mu sudah sejak 8 tahun yang lalu. Tapi kau tidak memberi ku apa-apa. Apa aku harus pinta dulu sampai kamu mengerti? 

Bukan kau yang bodoh, tapi aku juga. Kita sama-sama berusaha memberikan apa yang kita punya, apa yang kita bisa, meskipun kita belum tahu apakah ujungnya kita akan bahagia. Tapi mungkin nasib mu lebih baik, kau memberikan ia kebahagiaan karena kau percaya ia juga akan memberimu kebahagiaan nantinya.
“Tapi Andra maunya aku aborsi. Aku gak siap. Terus dia pergi.”

Sekarang nasib kita sama. Sama-sama mencoba memberikan kebahagiaan pada orang lain, sementara kita belum tentu mendapatkannya.

Dannis, aku tahu, aku gak pernah minta apa-apa sama kamu. Tapi bisakah aku segera memutuskan telfon ini? aku ingin berhenti mendengarkan mu dari balik telfon. Aku ingin berhenti menjadi telinga. Aku ingin berhenti dari pekerjaan ku sebagai pendengar yang belum mendapatkan upah. Sekarang izinkan aku memintanya. “Kamu mau nikah sama aku?”

“Rakaaaa.” Kau diam cukup lama. “Aku gak tau harus sedih atau seneng sekarang. Ternyata aku gak harus mencari, karena aku sudah ditemukan lebih dulu. Aku gak harus cari berapa digit nomor yang harus aku tekan. Karena di ujung kabel telfon itu, ada kamu. Dan pasti kamu yang aku cari. Kebahagiaanku.”

Tuuut, tuuut, tuuuut!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roti Priangan Sukabumi

Cuangki

Dongeng Sederhana Untuk Adik