Ina Arim

Sudah lama ingin ku ceritakan ini. menceritakan bagaimana kita mengenal sebuah budaya baru dan sosok wanita didalamnya.
Saat itu tahun 2012. Kami berduapuluh memilih untuk mengambil KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang menjadi bagian akademi kampus ke Lombok. Jangan bayangkan bagaimana keindahan pantai Lombok menyambutmu disana, tapi bayangkan bagaimana tanah Lombok berbeda dengan tanah Jawa.

Pertama, bahasa Sasak yang masih asing ku dengar. Bagiku sendiri, aku bisa bergumam berbahasa sunda dengan leluasa jika aku berada ditengah orang berbahasa jawa. Artinya adalah, sejelak apapun kalimatmu, mereka tidak akan pernah mengerti. Dan disini, sejelek apapun mereka mengatakan hal tentang kita, kita juga belum tentu akan mengerti.
Kedua, Lombok itu daerah agamis, kau bisa menjumpai banyak sekali masjid-masjid megah layaknya istana sekalipun rumah-rumah mereka biasa saja. Masjid itu tentu dari warga sekitar perkampungan masing-masing. Mereka diwajibkan membayar iuran atau menyisihkan uang yang mereka miliki untuk pembangunan masjid, baik dalam keadaan berlebih atau kurang.
Dan yang ketiga, Lombok memiliki budaya menculik pasangan. Sepengertianku, kau bisa dituntut untuk menikahi perempuan apabila kau telah membawanya pergi lebih dari satu malam atau dengan kata lain menculiknya semalaman. Dan menurut cerita warga Lombok, disana bukan hanya mudah ditemui pasangan kawin cerai, tapi juga janda-janda muda.
Dan disinilah ceritanya.

Namanya Arim. Wanita yang usianya baru sekitar 40 tahunan tapi sudah nampak seperti berusia 60 tahunan. Ia janda beranak dua. Anaknya yang pertama perempuan, sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di kampung sebelah. Dan yang kedua, laki-laki dan terpaksa bekerja ikut dengan kenalannya di kota Lombok.
Wanita itu akrab ku sebut Ina Arim. Sebutan Ina ini biasa digunakan oleh warga Lombok jika memanggil Ibu-ibu atau wanita yang tidak memiliki jabatan. Sementara wanita yang bekerja dikatoran dan memiliki status pekerjaan, itu baru bisa disebut dengan gelar Ibu didepan nama mereka.
Ina Arim sudah tidak mamiliki suami. Dari tutur ceritanya, suaminya telah lama meninggalkannya karena sudah menikah lagi. Ina Arim terpaksa menjadi janda muda dengan dua orang anak. Dan sejak perpisahannya, suaminya tidak lagi menafkahi ia dan anak-anaknya. Kini Ina Arim bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kerabatnya.
Ina Arim tidak banyak menuntut, bahkan ia cenderung lebih banyak dituntut. Anak perempuannya yang sudah tinggal dengan suaminya kerap kali datang kerumah meminta bantuan Ina untuk bisa membelikannya kebutuhan rumah tangga sekalipun suaminya sudah bekerja. Sementara anak keduanya belum bisa memberinya nafkah materi karena ia hanya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Ina Arim adalah pemilik rumah pondokan KKN kami. Rumah berlantai satu dengan dua kamar. Satu kamar untuk kami, dan satu kamar untuknya. Dan unik adalah kamar mandinya bukan hanya sekedar harus berolah raga dengan menimba. Kami tau, Ina bertubuh kecil. Dan ukuran kamar mandinya pun kecil, bahkan cenderung pendek, sehingga ketika mandi, kami sering membungkukan badan.
Ina Arim sulit sekali untuk diajak berfoto bersama, sulit untuk diajak makan satu lantai bersama, dan tidak mengeluh sekalipun barang-barangnya tidak sengaja kami jatuhkan kedalam sumur. Ia lebih banyak diam dan ikut tertawa didalam kamarnya ketika kami sedang bercanda diruang tengah.
Ina Arim yang membantu kami memasak, menyiapkan kegiatan KKN, hingga membangunkan kami ketika piket sahur dibulan Ramadhan. Sesekali Ina pernah tertangkap basah sedang merekam kami yang sedang bercanda diruang tengah. Ia bilang, itu untuk kenang-kenangan nanti kalau kami sudah pulang.
Suatu hari, Dosen KKN kami datang ke pondokan, tepatnya ke rumah Ina Arim. Ina hanya diam didalam kamar, tidak berani berkumpul bersama kami diruang tengah. Ketika ku Tanya ada apa, ia menjawab, “Aku sedih waktu bapak dosen itu datang, soalnya perasaanku bilang kalau bapak dosen itu mau bawa kalian pulang, dan ina bakal sendirian lagi dirumah.” Tangispun tumpah disana.
Sudah sekitar 2 bulan kami tinggal di Lombok. Kami terpaksa harus pulang kerumah masing-masing ketika mendekati Hari Raya Idul Fitri. Mendekati harinya, Ina lebih banyak diam dan menangis di kamar. Mau tidak mau, kami memang harus meninggalkan tanah Lombok dan kembali ke tanah Jawa. Melanjutkan masa kuliah kami yang belum selesai. Tapi suatu saat kami pasti kembali lagi. Kerumah Ina Arim.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roti Priangan Sukabumi

Cuangki

Dongeng Sederhana Untuk Adik