(Cerpen Fiktif) Jadilah laki-laki
“Aku sayang kamu.”
Aneh
rasanya mendengar kalimat itu. Bukan karena aku tidak menyayangimu,
tapi, ah aku tidak tahu.
***
Masih
terasa pekat ingatan ku, saat dibangku SMA dulu sepulang sekolah, ada
kita. Kita bersama teman-teman sebaya lain. Dibawah pohon beringin
sekolah, saling bercerita, saling mengejek, dan tidak bosan-bosannya
saling mendukung. Ada Shinta, Mitha, Dara, Dian, Ilham, Doni, dan
kamu Rifki.
Kita
berdelapan tahu sejak dulu aku memang paling dekat dengan kamu. Bukan
karena kita saling mendukung, tapi karena selalu tega untuk saling
mencela. Kamu yang pernah menyembunyikan sepatu ku sepulang sholat
zuhur dan aku yang tega menendangmu sampai hampir terperosok tempat
sampah. Iyaa, masa muda kita. Tak pernah terikat cinta.
Kebiasaan
konyol kita membuatku sadar bahwa aku memang menyukaimu. Dan
kekonyolan mu yang mulai berubah jadi salah tingkah saat menemuiku
juga mengisyaratkan perasaan yang sama. Bodohnya, teman-teman yang
lain malah semakin memojokan kita dengan saling menyebutkan nama
kita. Dan caramu yang selalu menghindar, mengakibatkan celotehan
mereka semakin berarti. Ah, dasar Rifki. Bisakah kau menjadi
laki-laki?
Aku
tidak tahu bagaimana sulitnya menyatakan cinta. Yang jelas, dalam
perkara ini, aku bersikap seperti biasa saat menemuimu di sekolah
dulu.
Bahkan
aku masih ingat, saat hari ulang tahun mu. Hanya aku yang memberi
hadiah. Bagimu mungkin terasa janggal. Tapi bagiku wajar ketika ulang
tahun mu aku memberi hadiah. Sorak sorai teman-teman yang lain makin
riuh saat itu. Kamu malu, lalu kau menolak menerimanya, entah karena
apa, aku tidak tahu. Tapi kau tahu rasanya apa? Sakit.
Ada
hari dimana kita berdelapan menonton bersama. Mereka bilang cerita
cinta di film itu sama seperti kita. Aneh. Aku hanya ikut tertawa,
tapi kau mengelak. Hingga akhirnya Mitha terlalu berani untuk
menanyakannya, “Kamu itu kenapa sih Rif? Kamu bukannya suka sama
Tiara? Gak usah sok malu-malu gitu. Kalau suka bilang aja kali.”
Kalimat itu oleh anak-anak disambut dengan kata, “cieeeeeee.”
Rifki
diam, lalu ia menatap ku. “Aku tu sama Tiara gak ada perasaan
apa-apa kok. Kita kan Cuma temenan. Ya kan?” Tangan rifki menyambar
bahu ku, seolah-olah aku menyepakatinya.
“Tiaraaa?”
Dara memastikanku.
Dan
aku hanya tersenyum.
Sakit
itu datang lagi. Dan aku tidak mau itu datang lagi dan lagi. Aku
tidak tahu dimana yang salah. Perasaan mu kan? Perasaan ku kah? Sikap
ku kan? Atau sikap mu kan? Ah, tidak tahu. Tapi semenjak hari itu.
Aku tidak ingin lagi memikirkan mu.
Ujian
Nasional makin dekat. Kita berdelapan mulai jarang bertemu. Bukan
hanya karena kita berbeda kelas, tapi juga jadwal les, ekskul, dan
kesibukan kita makin beragam. Shinta dan Mitha sibuk membantu adik
kelas dengan persiapan kepanitiaan perpisahan sekolah, Dian juga
sibuk mengurus pergantian jabatannya sebagai ketua PMR kepada adik
kelasnya, aku dan Dara sibuk pula mengurusi buku angkatan sekolah
kita, sementara Ilham, Doni dan Rifki lebih banyak mengisi waktu
dilapangan bola demi menghilangkan penat belajar UN.
Hari
itu datang juga, perpisahan sekolah. Kami berdelapan berkumpul lagi.
Mungkin untuk yang terakhir sebelum kami masuk ke perguruan tinggi
dikota yang berbeda-beda. Hari itu Rifki Nampak aneh, lebih banyak
diam, gugup dan mudah berkeringat. Rifki menyambangi kursi kosong
disebelah ku, “Tiara.” Aku tersenyum menyambutnya. “Aku boleh
ngomong?”
Tunggu
tunggu. Kalimat ini mulai aneh. Aku mulai serius mendengarkannya.
“Iya, ngomong apa?”
“Ti,
akuuuu,” kalimatnya seolah berganti, “mau mintaaa maaf kalau
selama ini aku keterlaluan sama kamu. Suka jahil. Suka bikin kamu
kesel. Yaa, aku minta maaf aja sama semua ke-iseng-an aku.”
Aku
fikir, kalimat cinta yang akan terucap tadi. Nyatanya. Bukan. “Oh
iya, gak apa-apa kok, Rif. Sama-sama, aku juga minta maaf sama kamu.”
Tak akan lagi ku berharap, menerka-nerka, dan menunggumu.
***
Pernikahan
Dian. Ternyata selama ini Ilham menaruh hati pada Dian. Bahkan kita,
atau khususnya aku, tidak tahu sama sekali. Yang ku yakini hari ini,
kita berdelapan akan bertemu lagi. Ah, rindu rasanya.
Malamnya,
seusai akad nikah, Shinta, Mitha, Dara, Dian, Ilham, Doni, Rifki, dan
aku duduk bersama diruang tengah rumah Dian. Dian masih Nampak cantik
dengan konde dan atribut kebayanya, sementara Ilham sudah sejak tadi
melepas setelan jas nya. Banyak yang kita bicarakan. Mulai dari cinta
Ilham kepada Dian, kedekatan Mitha dengan dosen satu kampusnya,
hingga Doni yang mulai merintis usaha ayam bakar. Sampai selarut ini.
“Eh,
pulang yuk!” sambar ku.
“Yeeee,
kok pulang sih? ngapain?” Jawab Mitha yang masih belum selesai
menceritakan ketampanan dosennya.
“Gak
enak juga kali kita ngeganggu malam pertama penganten baru.” Jawab
ku sambil mencubit Dian.
“Justru
itu! Kita kan kumpul buat gangguin malam pertama mereka.” Sahut
Doni santai. “Kita temenan berdelapan, bulan madu yo berdelapan
lah.” Sontak, yang lain pun tertawa mendengar Doni.
“Huss!
Ngawur ni.” Aku menarik Doni untuk bangkit dari duduknya. “Udah
yuk pulang-pulang, kalian gak sadar apa kalau si Ilham udah ngantuk
gitu.”
“Alah
itu sok-sokan aja ngantuk. Pas udah masuk kamar juga melek
ntar.” Rifki malah makin menjadi-jadi.
Shinta
sepakat dengan ku, “Yaudah yuk, kita pamit dulu ya, Ham. Jagain
Dian lho.”
“Siap!!”
Kami
berucap salam perpisahan malam itu. Dan saling berjanji untuk bertemu
lagi saat ada yang menikah selanjutnya dari pertemanan ini.
Rifki
sadar betul bahwa setelah hari ini ia akan sulit menemui ku lagi.
“Eh, tunggu!”
“Kenapa,
Rif? Ada yang ketinggalan?” Tanya Dian.
“Tiara,”
ia berpinda posisi, kini ia tepat depan ku. “Maaf kalau aku baru
berani ngomong sekarang. Sejak dulu, sejak kita SMA, aku emang punya
perasaan sama kamu. Saat itu aku belum berani. Dan sekarang aku coba
utarain, karena aku gak yakin bisa ketemu kamu lagi besok.” Rifki
menarik nafas panjang, lalu menghelanya perlahan, “Aku sayang
kamu.”
Aneh
rasanya mendengar kalimat itu. Bukan karena aku tidak menyayangimu,
tapi, ah aku tidak tahu.
Shinta,
Mitha, Dara, Dian, Ilham, dan Doni menyaksikan kami seksama. Menunggu
apa jawaban ku. Mereka tahu betul bawa sejak sekolah dulu kami saling
menyukai. Tapi kurasaaa, sekarang aku tidak.
“Kalian
tahu, kenapa aku mau segera pulang malam ini? karena, sudah ada yang
menjemput ku.” Tangan ku menyambar bahu Rifki, membuat Rifki
seolah-olah menyepakatinya. “maafin aku, Rif, aku gak bisa sama
kamu. Kamu terlambat.”
Aku
tahu bagaimana rasa sakit mu sekarang. Tapi, ini bukan karma ataupun
dendam. Sungguh. Aku mungkin hanya butuh laki-laki yang berani untuk
menjadi pendamping ku. Tapi ketidakberanian mu, menyadarkan ku bahwa
kau belum bisa menjadi pilihanku. Lain kali, Jadilah laki-laki.
Doni merangkul tangan
ku. Saat itu Rifki sadar, bahwa aku dan Doni sama-sama mengikat
cincin dijari manis kami. Selanjutnya, reuni ini akan berkumpul lagi
dirumahku, pada pernikahanku dan Doni.
Komentar
Posting Komentar