(Cerpen fiktif) Layar Handphone Ku
Ada namanya disana. Tepatnya
dilayar Handphone ku. Aku tidak tahu sejak kapan aku memandanginya. Sepertinya
sudah cukup lama. Sepuluh menit. Lima belas menit, atauuuu mungkin setengah
jam. Dan semua itu ku lakukan hanya saat menunggu balasan mu. Atau paling
tidak, membaca ulang isi sms mu tadi.
Beeeep beep, dering handphone ku.
“Oke deh,
makasih yaa, Sarah.” Isi sms mu, yang sebelumnya bertanya tentang buku ekonomi
karya guru besar fakultas kita.
“Sama-sama,
Ahmad.” Balas ku disertai senyum selebar jalan raya.
Aneh
rasanya. Bagaimana aku bisa begitu bahagia hanya karena menerima sms. Kalimatnya
pun sangat sederhana. Padahal satu tahun lalu, menerima sms mu, menemuimu, dan
berbicara dengan mu, rasanya biasa saja. Sekarang? Tidak.
***
Mata kuliah Ekonomi Masyarakat.
Kelas
itu yang kita ambil bersama di Fakultas Ilmu ekonomi. Kau Manajemen, sementara
aku Akuntansi. Satu Universitas, satu Fakultas, tapi berbeda jurusan. Pertemuan
kami pun sederhana. Hanya karena dosen mata kuliah itu membentuk kami secara
acak, satu kelompok terdiri dari dua
orang demi merampungkan proposal ekonomi kemasyarakat.
“Maaf,
kamu Sarah ya?” Tanya mu santun. Berdiri disamping kursi ku, mengenakan kaos
berkerah, celana jeans longgar, tas gendong, dan sepatu kets coklat. Dia
laki-laki peranakan sunda.
Ku
jawab salam tangan nya, “iya, kamuuu? Ahmad ya?” Tanya ku agak ragu.
“Iyaaa.
Udah tahu kan kalo kita sekelompok? Gimana nih sama tugas kita?” tanyamu langsung pada seorang
perempuan berjilbab merah muda, dengan tas jinjing dan sepatu tepleknya.
Satu
semester berada di kelas yang sama, cukup membuat kita saling mengenal. Kau
yang tinggal di Sumedang bersama orang tua dan kedua adik laki-laki mu. Lalu
aku yang harus menyesuaikan jadwal kelompok kita karena kau yang bekerja paruh
waktu di sebuah kedai kopi.
Satu
semester sudah. Kelas itu berakhir. Kita tidak sesering dulu bertemu, atau sesering
dulu untuk saling menghubungi. Sesekali komunikasi itu ada hanya sekedar
bertanya buku atau acara kampus. Selebihnya? tidak.
***
Kau tahu, aku suka sekali pada
satu aktor ternama. Dan kau sengaja membeli dua tiket bioskop untuk kita.
Menerima sms mu, menemuimu, dan berbicara dengan mu, rasanya aku mulai ketagihan.
Aku tahu, kau
suka sekali pada baso dan mie ayam. Dan aku sengaja mengajak mu ke warung
ternama dikota ini. Mungkin hanya agar aku bisa menerima sms mu, menemuimu, dan
berbicara dengan mu, rasanya aku sudah ketagihan.
Seperti
ada magnet didalam tubuh mu yang menarik ku. Kau tidak tampan, kau juga tidak
terlalu cerdas. Sunggu ku akui, daya tarik mu bukan disitu. Tapi kau pernah
bilang, “Ada orang yang tampan, ada juga
orang yang cerdas, tapi ketika kita tidak memiliki keduanya, berarti kita harus
jadi orang yang kuat.” Aku mengangguk mendengarkan mu. Setelah itu, kau
pamit sholat. Dan ku akui, disana magnet mu.
Kau
bukan hanya menarik tapi juga menyenangkan. Status teman diskusi, sekarang
berubah menjadi teman bercerita. Cerita tentang kuliah ku sampai cerita tentang
keluarga ku, ku percayakan padamu. Begitu pula sebaliknya. Seharusnya? Tidak.
***
Hari itu aku makan bersama Miko
disebuah warung baso. Sesekali ku tengokan wajah ku pada satu kursi didekat
jendela. Aku ingat sekali, aku pernah duduk disana, bukan dengan Miko, tapi
dengan Ahmad.
Bingung
rasanya menghubungi mu. Bukan karena aku tidak punya nomor mu, tapi karena aku
tidak tahu bagaimana memulainya. Aku wanita, dan aku teman mu. Ditambah lagi
ada Miko didepan ku sekarang. Semua hal itu menjadikan harapan ku untuk bisa
melihat namamu di layar handphone ku, terasa kecil kemungkinannya.
Ingin
rasanya ku tahu kabar mu. Dan Tuhan menggenapi doa ku. Ada nama mu di layar
handphone. Meski pesan itu bukan untuk ku. Di media social itu kau selalu
ramah. Bercengkrama dengan nama-nama yang tidak ku kenal. Dan anehnya, semua
nya rata-rata wanita. Sebenarnya bukan disitu letak keanehannya, tapiiii,
mungkin aku yang aneh, yang tidak terbiasa melihat ini.
Kau
seperti datang dan pergi sesuka mu, itu yang membuat ku ragu. Tidak ingin lagi
ku lihat nama mu di layar handphone ku. Menerima sms mu, menemuimu, dan
berbicara dengan mu, rasanya aku mulai menghindarinya. Dan sepertinya kau pun
sudah tidak ingin melakukannya lagi.
Rasanya
aneh. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia karena sudah tidak lagi kecanduan
oleh mu? Atau aku harus sedih karena sudah tidak akan ada lagi nama mu di layar
handphone ku?
Rasanya
bingung. Mungkin aku yang terlalu berharap. Atau kau yang terlalu memberi
harap. Yang ku tahu pasti, aku tidak ingin lagi berharap nama mu ada dilayar
handphone ku.
Meskipun rasanya
aku ingin namamu jadi penghuni tetap layar handphone ku. Tapiiii, aku sudah
bersama Miko, dan memang harus ku izin kan nama mu ada dilayar handphone
perempuan lain.
Dan aku, cukup
tahu diri.
huwooohh :D bagus Ra hehe
BalasHapus