Secangkir Javabica

‘Hai coffee, Salam kenal.’
Ia sahabat baruku. Meski sudah lahir dan ku hafal namanya sejak lama. Tapi kami baru saja berteman, pada satu pagi. Alsannya sederhana, karena dulu aku bersugesti akan caffein tinggi pada kadar coffee. Dan itu cukup membuat ku mabuk, keluar masuk kamar kecil, dan cedera ringan pada sugesti sakit kepala. tapi itu dulu, dulu sekali. Sebelum aku merasa sendirian.
Kami berdua membuat kesepakatan, kami hanya akan bercinta di pagi hari. Sementara pada malam harinya, ia ku sudutkan pada kandangnya di toples jendela. Ia menerima kesepakatan itu, mungkin karena ia tidak bisa bicara. Ia hanya mendengar, tapi bersedia setia. Dan saat itu, aku mulai menyukainya.
Rasa iri itu timbul pada eskrim coklat. Ia jauh lebih mempesona dibanding secangkir coffee. Dan coffee, mempersilahkan ku mendua.  Satu-satunya alasan kenapa ia diam adalah, karena coffee tidak punya pilihan lain. Ia hanya coffee. Dan itu kalimat terbaiknya, ‘ia hanya coffee’. Tanpa meminta apa-apa, ia terlihat hangat dan mengahangatkan.
Sama seperti hujan, dulun aku membencinya. Karena hujan membatasi ku untuk bergerak. Seperti katak dalam tempurung, aku benci hujan. Tapi, sekarang lain cerita. Hujan itu terlihat seperti proses, proses untuk beristirahat lalu menengok keatas. ‘lihat, ada pelangi’. Sesederhana itu anak-anak kecil memutusnya untuk berlari keluar, untuk sebuah kepercayaan dan harapan yang menurut mereka ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roti Priangan Sukabumi

Cuangki

Dongeng Sederhana Untuk Adik