(Cerpen Fiktif) Let me judge
”Kayanyaaaaa, kamu itu suka type cowok yang nakal ya? Karena menurut kamu, cowok yang nakal itu lebih menantang dibanding cowok yang duduk kalem dikelas sambil nyatet-nyatet gak jelas? Pesen aku sih, mending kamu jalanin aja dulu sama cowok yang ada didepan kamu. Kita kan gak pernah tahu dia baik atau nggak kalo kita nggak pernah coba. Kalo kamu berideologi, buat anak jangan coba-coba, lah, emangnya kita umur berapa masih dibilang anak-anak? Ya gak?!”
Perempuan itu, ya, perempuan itu, perempuan yang duduk ditengah kerubunan masa. Ia memang baru kelas 2 SMA. Tapi siapa yang tahu, anak itu mampu membaca pikiran orang lain. Ini bukan tentang ilmu sihir ataupun ramalan dari dunia hitam. Ini hanya soal membaca tangan, wajah, dan emosi. Semua orang mengenalnya rata-rata karena keistimewaannya saat menjadi pendengar yang baik. Ia memang orang paling peka yang kukenal. Hanya dari cara bicara saja, ia bisa tau bagaimana sifat orang itu sebenarnya. Tak heran, segelintir orang rela jauh-jauh menunggunya pulang sekolah hanya untuk dimintai pendapat soal apa saja.
Suara hening itu hentak pecah seketika saat jam pelajaran terakhir selesai. Kegaduhan mulai terdengar seperti sorak sorai para pedagang kaki lima. Mereka yang berseragam abu-abu hilir mudik di sepanjang lorong sekolah.
“Mili!” gadis itu menoleh. “Eh, makasih banget yang buat saran nya. Ternyata kamu bener. Harusnya aku ga perlu bikin type-type cowok yang pantes buat aku. Aku sadar, Itu sama aja kaya nggak ngasih kesempatan buat orang yang lebih baik, karena kita hanya membuka pintu untuk orang baik. Dan sekarang aku ngerasa bebas. Mungkin karena aku nggak terlalu pusing sama semua yang aku tuntut.”
Gadis itu tersenyum dengan gingsul nya yang terlihat manis. “Sebenernya, semua orang itu baik lagi. Kalo nggak baik, dia gak mungkin lolos seleksi Tuhan!”
Pembicaraan itu cukup menarik bagi para perempuan. Pasalnya, mayoritas perempuan itu lebih sering menceritakan perasaan cintanya ketimbang menyimpannnya sendiri.
!@#$%^&*()_+:”<>[]?{}|
Air hujan mulai jatuh dari peradabannya. Pohon beringin tua yang sudah sejak sekolah ini berdiri, mungkin sudah bosan menaungi Mili sebagai tempat berteduhnya. Bagi Mili, musim hujan adalah saat untuk berfikir menuju tahap yang lebih baik untuk tumbuh. Bukan hanya sekedar setelah hujan akan tumbuh pelangi. Tapi aroma tanah saat basah yang begitu wangi. Hingga ada aroma lain mengganggunya. Laki-laki itu. Teman sekelasnya yang memutuskan untuk tumbuh dan berubah. Keangkuhannya melebihin otoriter sang raja. Laki-laki sederhana yang selalu berjalan dengan wajah datar. Mili hanya bisa diam mempelajari caranya mengambil langkah. Karena bicara pada laki-laki itu pun percuma, hanya akan membuang energy saja.
Dia! Laki-laki yang sering menguras pikiran Mili. Cuma laki-laki itu yang tidak bisa diterka apa yang ia mau, apa yang ia fikirkan, dan apa yang ia rasakan. Laki-laki itu seperti balok es yang tidak akan pernah cair meskipun ada pemanasan global. Ini bukan cerita vampire dengan kekuatannya dalam membaca pikiran. Tapi ini hanya perasaan sederhana yang tidak bisa ia buka.
Sekali lagi, Mili membuang jauh-jauh apa yang ia kenal dengan sebutan menjaga jarak. Keangkuhan itu sontak pecah dengan rasa penasarannya. Pagi yang biasa dihabiskan dengan mendengarkan cerita dari teman yang mulai lebih seperti pelanggan, kini berubah menjadi pagi yang habis untuk mengamati rasa penasaran. Rasa itu memang jahat! Rasa penasaran terkadang menghabiskan logika manusia untuk berfikir sejalan dengan realita. Hingga Mili berada didepan pintu keangkuhan.
Dana hanya melirik Mili satu detik lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. ”Baca.”
“Oh, baca apa?” Mili tetap mencoba ramah.
”Buku.” Jawab Dana tanpa menoleh.
”Buku apa?”
“Bahasa Inggris.”
“Emang ada PR?”
“Nggak!”
Mili mengerutkan kening. Kekuatan yang tersisa mungkin hanya cukup untuk habis mencaci maki. Bicara pada laki-laki itu memang seperti bermain catur untuk saling beradu kuda dan melindungi raja. Siapa yang tidak bisa maju pada kotak langkah, maka ia yang kalah. Sama seperti pembicaraan Dana yang jelas-jelas tidak mengizinkan siapapun untuk masuk kedalam zona aman nya. Sumpah ya! Mendingan ngomong sama pantat ayam deh, daripada sama Dana. Dan benar saja, meskipun Mili beranjak dari zona aman itu, Dana tetap tidak menoleh sedikitpun. Maka keputusan Mili adalah, membiarkan waktu itu menjawab pertanyaannya, karena Cuma butuh waktu.
!@#$%^&*()_+:”<>[]?{}|
Dana yang sekarang memang Nampak berbeda dengan Dana yang dikenalnya satu tahun lalu. Mungkin benar, angin sudah mengubah nuansa hati seseorang saat ia memutuskan untuk mengubah dunia. Efek sampingnya terjadi pada Dana, laki-laki angkuh yang selalu kami kira salah minum obat. Dana dulu lebih bersahabat. Lebih suka bergaul. Dan tidak suka menyendiri. Mili masih ingat bagaimana saat Dana menyuapinya sebungkus nasi ayam di UKS sekolah. Dana tau seperti apa kondisi fisik Mili dengan segudang kegiatannya, bahkan Dana tau Mili tidak pernah berubah sedikit pun padanya. Laluu..
Topeng apa yang kamu paka, Danaai?!
Pergulatan itu mungkin lebih dulu terjadi pada emosi Dana. Sepasang manusia yang terlalu dekat mengakibatkan perasaan seseorang akan berubah, artinya adalah lebih dari yang selama ini terjadi. Dan bagi Dana, itu adalah kesalahan. Pintu yang tertutup itu menandakan tidak boleh ada satu orang pun untuk masuk sembarangan, dan itu berlaku juga dalam kehidupan Dana. Sendirian lebih baik dibandingkan bersahabat dengan orang yang pelan-pelan membuka topengmu. Satu hal yang Dana tahu adalah, dia siap dengan konsekuensinya.
Bukankan seorang dokter terhebat juga bisa sakit? Maka adil pula bagi Mili yang membutuhkan bantuan orang lain untuk dimintai pendapat. Namika, salah satu pilihan tempat permintaan pendapat itu jatuh.
”Jangan-jangan si Dana itu diem-diem naksir kamu, Mil?” Jawaban Namika yang malah cenderung membuat segelumit pertanyaan baru. Namika memang tidak ingin terburu-buru menyimpulkan semuanya, tapi pertanyaannya malah cenderung memberikan spekulasi baru yang membuat orang lain berakar pada pikirannya.
“Blegug!!” Pembicaraan Nami dan Mili malah lebih terlihat sorotan investigasi seorang mata-mata pada pelaku korupsi dibanding adegan curhat seorang sahabat. “Mana buktinya?”
“Yeyy, dia sih kalo dibilangin kaga percaya! Nih ya, logikanya itu, Dana nggak mungkin berubah tiba-tiba kalo ga ada sebabnya. Heh! Lo pernah liat film AADC kan? Bayangin coba kalo misalnya si Dana jadi Rangga yang angkuh, teruuuus.. teruuuuus..”
“Ko ga dilanjutin?” Mili mulai melotot. Berharap Namika berucap Mili jadi Cinta yang cantik? Ish, ngarep!
“Nahhhh, terus, Mili itu jadi Cinta yang bawel. Yaa jadi wajar aja kalo ada bunga-bunga cinta antara cowok angkuh sama cewek bawel.” Argumen Namika memang terlihat berlebihan dengan efek-efek peragaan tangan yang mengembang, tapi Kenapa jadi dangdud gitu sih?. “Oia, dari kemarin sampe barusan itu, Dana biasa aja ke aku. Dibilang angkuh, nggak. Dibilang ramah juga nggak. Yaaa, kaya awal-awal kita kenal dulu. Mungkin dia Cuma berubah ke kamu doank kali. Apaaa, kamu pernah punya salah gitu ke dia?” Mili berfikir keras, mencoba menggali pertanyaan Nami. “Ah, rasanya sih nggak deh, Mil.” Nami buru-buru membantah dengan segudang pertanyaan yang ia buat sendiri. “Dugaan terbesar ku sih kuat banget, kalo ternyata si Dana itu naksir kali ya?!”
Amukan pertanyaan itu malah semakin kuat di otak Mili. Bagian terparahnya adalah, meskipun Mili bisa membaca pikiran dan perasaan orang. Tapi Mili selalu merasa buntu saat pusatnya berhenti pada patokan yang sama. Bagi Mili, ia tidak pernah bisa membaca seseorang yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Ini sama saja seperti seorang dokter yang berusaha mengoprasi usus buntu ditubuhnya sendiri. Dana sekarang memang sudah menjadi alasan bagi Mili untuk terus berfikir, mungkinkah cinta itu adil ketika tidak bisa dibaca apa artinya? Tapi satu hal yang pasti adalah semua terasa adil ketika cinta itu memutuskan untuk tidak membutakan tapi melumpuhkan logika.
Namika memutuskan untuk diam-diam mengamati Dana. Perempuan itu memang bersahabat dengan keduanya. Meskipun semua jawaban yang ia keluarkan cenderung mengada-ada, tapi ia tahu apa itu realitas. Bukan maksud Nami untuk menjadi penyelidik yang terlihat kurang kerjaan saat memperhatikan orang lain. Tapi, Nami memang mencurigai Dana sejak lama. Sepahit-pahitnya realitas yang Nami tahu, ia selalu berharap semoga sakit hati itu tidak menular pada teman nya. Bahkan Dana sekalipun. Bagi Nami, ada sesuatu yang harus dan tidak harus dikatakan. Maka ketika Nami tahu apa itu realitas dari balok es milik Dana, Nami hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat-kuat. Mili, maaf! Ucapnya lirih dalam hati.
Namika teringat akan suatu siang, dimana ia duduk berdua dengan Dana. Pembicaraan sederhana kedua orang teman yang tak pernah memiliki niat untuk saling memiliki. Peristiwa ini terjadi jauh sebelum Dana dekat dengan Mili. Siang itu, Dana memang tidak pernah menyadari bahwa ia selalu menarik perhatian kaum hawa di setiap café. Segelintir wanita yang berbisik dan membicarakan ketampanannya menjadi bagian yang sudah biasa di resep makan siang. Namika memang tidak pernah mau mengakui kelebihan fisik Dana, sekalipun banyak orang yang selalu menitipkan salam untuk Laki-laki itu. Ini memang tidak nyaman. Tapi bukan itu yang benar-benar mengganggunya. Saat itu, Tiba-tiba Dana membuka pembicaraan tentang beberapa phobia yang dialami manusia. Namika tersentak! Pembicaraan disiang itu kembali membuka mata Namika, bahwa perubahan sikap Dana mungkin berhubungan dengan phobia. Tapi, Apa itu?
!@#$%^&*()_+:”<>[]?{}|
Cukup!
Akhirnya bom itu harus meledak. Mili menghampiri Dana dengan mata memerah. “Dana!” laki-laki itu masih tetap diam sekalipun ia tahu suara siapa itu. “Dana, aku salah apa? Kenapa kamu kaya gini? Apa aku orang yang udah ngebakar rumah kamu? Apa aku orang ngebunuh orang tua kamu? Apa aku yang udah nghancurin hidup kamu?” nada itu makin meninggi di dalam kelasnya yang kosong tanpa penghuni saat istirahat siang.
Sekalipun semua pertanyaan yang didugakan itu tidak benar-benar terjadi, tapi keterkejutan yang dibuat Mili ini malah semakin membuat Dana diam.
“Dana! Jawab! Kalo kamu diem, Kamu gak akan pernah ngerubah apapun!” Mili makin menahan isak tangisnya.
Akhirnya Dana buka suara. “Kamu nggak ngerti!” Dana hanya bisa menunduk untuk menutupi topengnya.
Tapi cengkraman Mili kali ini benar-benar serius untuk mempertanyakan sebuah realitas. “Ya apa? Apa yang aku nggak ngert? Makanya akau nanya! Aku tu butuh jawaban? Apa menurut kamu ini adil? Kamu yang seolah-olah membuka pintu terus mempersilahkan aku masuk ke hati kamu, tapi secara tiba-tiba juga kamu tutup pintu itu rapat-rapat sebelum aku masuk. Ini ga adil Danaaaaa. Apa aku punya salah?” Tangisan itu pun tumpah pada seragam Mili.
“Kamu nggak salah, Mil.” Jawan Dana tetap datar.
“Terus apa maksud kamu dengan membeda-bedakan aku sama orang lain? Kenapa kamu Cuma angkuh ke aku doank? Kenapa kamu nggak pernah senyum ke aku doank? Kenapa seolah-olah aku itu udah ngebuka aib kamu?”
Dana Cuma bisa diam. Justru itu, Mil. Sebelum semuanya kebuka, aku mau tutup ini rapat-rapat.
“Aku tu hidup! Aku bukan tembok sekolah yang selalu diem tiap kali ngeliat kamu lewat. Tapi kenapa kamu mempersulit ini dengan seolah-olah kamu menjadikan diri kamu sendiri tembok yang keras buat aku? Dana, ngomong! Tolong jangan diem lagi!” Mili mencoba mendekatkan wajahnya. “Dana, liat muka aku!”
Permintaan itu malah seperti tantangan bagi Dana. Ia harus terlihat seperti laki-laki jantan untuk menatap Mili yang mempertanyakan tingkah lakunya yang seolah-olah mengubah gadis itu menjadi lebih sentimentil. Akhirnya mau tidak mau, Dana menatap Mili. Keduanya seperti beradu untuk saling membaca pikiran. Sayangnya percuma! Kebodohan terjadi ketika kita berfikir dengan perasaan. Maka tatapan itu hanya seperti balok es yang membekukan mulut Dana untuk terus diam.
“Sekarang aku tau.” Akhirnya Mili mencoba mengambil kesimpulan yang menurutnya benar. “Kamu tu selama ini Cuma pake topeng. Dana yang aku kenal dua tahun lalu itu Cuma sebuah kepura-puraan!!!” dan seperti melangkah cepat, Mili benar-benar pergi dari Dana.
Itu memang titik yang dibuat sendiri oleh Mili. Titik yang berarti luapan emosi Mili atas perlakuan angkuh Dana. Titik yang mengakibatkan Mili untuk terlalu sensitive saat orang lain tiba-tiba mendiamkannya seperti tembok. Titik dimana Mili memutuskan untuk melompat dari tebing agar ia bisa berharap pada Tuhan agar diizinkan untuk hidup kembali. Titik dimana Mili sudah tidak memiliki kesempatan untuk memberikan orang lain kesempatan kedua. Dan titik dimana Mili memutuskan untuk pergi dari sekedar tanda Tanya.
Namika berdiri diambang pintu kelas itu. Terlambat! Ia sudah tidak punya kesempatan untuk menyuarakannya. Ia hanya punya waktu untuk menstabilkan nafasnya yang terengah-engah setelah berlari tadi, karena ia tahu, kejadian ini akan terjadi diantara kedua sahabatnya. Namika sadar, ia salah pada Mili saat ia bilang Dana menyukainya. Seharusnya itu tidak menjadi boomerang berdarah yang membunuh sahabatnya sendiri. Namika memang tidak sesering Mili membuka pembicaraan dengan Dana beberapa tahun lalu. Apa yang dilakukan Mili, hanya menjadikannya korban atas dugaan-dugaannya sendiri untuk membaca kunci orang lain, tapi tidak untuk Dana.
Andai Mili mengerti untuk tidak terlalu mempertanyakan orang lain yang saat ia menutu pintu. Mili pasti mengerti, bahwa mundur sejenak untuk melihatnya dari kejauhan adalah jalan yang lebih baik agar cara pandangnya terlihat lebih luas. Mili hanya sulit berfikir pada apa yang selama ini dinamakan realitas oleh guru bahasa indonesianya.
Dana, tidak seharusnya laki-laki seperti dia mengalami ini. Dana memang lebih sakit saat ia menyakiti Mili. Ia sadar, seharusnya ia mengaku saat Mili terus meluncurkan sayatan pedangnya. Ini bukan lelucon tiap malam di TV saat Dana mempermainkan Mili dengan keangkuhannya. Dibandingkan membunuh, terkadang diam itu lebih mematikan. Dana mengerti posisinya tidak aman saat Mili menganggap Dana adalah laki-laki biasa. Justru karena itu, Dana memutuskan untuk mengusir Mili dari hidupnya, meskipun caranya salah. Dana hanya tahu, sakit diawal lebih baik daripada sakita diakhir. Meskipun kejujuran itu hampir ia ungkap pada Mili, perempuan sederhana yang baginya sudah seperti bagian dari rasa sayang terhadap dirinya sendiri. Tapi, mana mungkin ia bisa menjadi laki-laki yang mereka inginkan?
Sementara kedatangan Nami yang terlambat, hanya menjadikannya rumput saksi perjalanan tanpa guna. Titik yang dibuat Mili sudah lebih dulu menyimpulakn segalanya. Dan sesederhana itu, rasa sakit menjadi pengiring obat lupa pada rasa yang dulu bernama cinta. Haruskah aku bilang ini dari awal padamu, Mil? Bahwa laki-laki yang mulai kau sukai itu, sebenarnya lebih suka menjadi tembok saat memperhatikan laki-laki lain. Karena laki-laki ini bukan korban, tapi pelaku homophobia.
Dan titik yang dibuat Mili benar.
Cuma butuh waktu, untuk menjawab semua pertanyaannya.
Komentar
Posting Komentar