(Cerpen Fiktif) Nak, Bapak Tidak Bisa Menyebrang.
“Goblok!!!”
Bapak itu berteriak sambil
mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Aku menunduk dan segera berlari ke pinggir
jalan. aku yang berencana untuk menyebrang malah kembali ketempat semula. Aku menoleh
ke beberapa arah. Tapi tidak ada yang ku kenal. Dimana aku ya Tuhaaaaaa? Aku
tidak mau kemana-mana, aku hanya mau pulang. Aku tidak lupa arah, aku hanya
sedikit tersesat. Bahkan aku tadi tidak naik kendaraan apa-apa. Tapi bagaimana
mungkin aku bisa lupa arah? Aku hanya punya dua kaki lengkap dengan organ tubuh
lainnya. Tak ada yang ku pegang selama ini selain tanganku yang hanya menggulung-gulung
ujung kaos putih yang sekarang malah terlihat berwarna coklat. Aku berjalan
kesana kemari sambil menggaruk-garuk kepala. Melihat kesekeliling dan berdoa
dalam hati, siapa tahu aku mulai mengingat arah pulang.
Ya ya ya, pulang. Aku mengikik
sendirian. Haha. Aku mulai lupa seperti apa bentuk rumah ku. Aku mulai pasif
membaca jam berapa sekarang. Aku bakan tidak pernah menghitung sudah berapa
lama aku berjalan kaki. Disepanjang jalan rasanya orang-orang terlihat aneh. Apakah
aku atau mereka yang aneh? Awalnya aku mulai risih, Tapi lama-lama aku mulai
terbiasa dengan pandangan mereka. Bahkan semakin lama sepertinya mereka mulai
bosan melihat ku. Apakah selama ini aku hanya mengitari jalan yang sama?
Aku duduk disebuah toko sambil
menutupi muka ku dengan kedua tangan. Aaah, sungguh lebih nyaman apabila mata
ini tertutup di banding terbuka. Aku bisa membayangkan bagaimana aku sewaktu
muda dulu. Berlari ditengah sawah dengan luas yang mungkin bisa mencapai dua RT
sebuah desa, dan semua itu adalah milik keluarga ku. Aku anak tunggal, dan aku
percaya semua itu akan jatuh menjadi warisan yang tidak akan lari kemana-mana. Harusnya
pepatah menegaskan, bahwa Berhati-hatilah
saat membuka pintu, karena saat kita membuka satu pintu, maka pintu lain akan
terbuka secara bersamaan. Pintu yang ku buka adalah rasa malas, malas untuk
sekolah, kemudian secara bersamaan aku mulai malas beribadah bahkan malas
pulang kerumah. Masa muda ku habiskan bersenang-senang dengan berkelana
sesukaku. Suatu ketika aku pulang dengan mendapati makam kedua orang tua ku.
Tetangga ku bilang, orang tua ku meninggal akibat rasa letih nya. Lupa makan
dan lupa tidur. Setelah aku pergi selama beberapa bulan, mereka berdua mencari
ku dengan menghabiskan seluruh uang yang mereka punya. Tanah yang seharusnya
menjadi warisan malah habis menjadi kiasan. Uang yang mereka sisakan hanya
cukup untuk membiayai pemakaman saja. Rumah? Ya, seharusnya aku punya rumah
sepeninggalan mereka. Tapi tidak! Bagaimana mungkin tanah berhektar-hektar
beserta rumah bisa lenyap secepat itu? Suatu hari orang tua ku mendapatkan
kabar dari seorang laki-laki bahwa ia menemukan ku. Siapa sangka ternyata kabar
itu adalah sebuah penipuan. Bukannya buah hati yang didapat, tapi malah sebuah
pemerasan. Sungguh aku menyesal buuu, paaa, tolong jangan pergi.
Waktu tidak akan pernah bejalan
mundur sekalipun aku menoleh dan memohon. Karena kenyataan yang paling kejam
adalah ketika kita sadar bahwa waktu terus berlari sekalipun kita diam saja.
Tidak banyak ilmu yang ku dapat. Aku yang malas belajar tidak pernah mengasah
otak untuk membaca dan berhitung. Aku yang menutup diri pada dunia luar malah
takut dengan hari esok. Aku seperti homo spiens yang baru keluar dari goa batu.
Apa yang mereka sebut dengan mobil, yang ku lihat hanya sepasang kaki tanpa
alas. Apa yang mereka genggam dengan sebutan Handphone, yang ku pegang sekarang
hanya sebuah nasi bungkus yang sudah ku awet-awetkan sejak beberapa waktu lalu.
Bahkan, apa yang kulihat dengan sebutan gedung, yang ku harapkan adalah belas
kasihan agar mereka mengizinkan ku tidur didepan lantai mereka.
“Bu, bu, ada orang gila, bu!”
anak perempuan berseragam SD itu menunjuk ku. Kemudian anak itu di tarik oleh
sang Ibu untuk tidak terlalu dekat dengan laki-laki renta ini.
Selama ini aku hanya bisa bicara
didalam hati. Nak, saya bukan orang gila. Saya hanya tidak bisa menyebrang
dengan kemajuan dunia ini. Ya Tuhaaaaan, bisa kah kau membukakan satu pintu
untuk ku agar pintu yang lain bisa terbuka secara bersamaan? Aku menarik nafas
panjang, menutup mata lagi, dan membayangkan rumah.
Rasanya dingin, tidak tidak
tidak, disini rasanya sejuk. Apa aku sudah berada dirumah? Aku membuka mata dan
yang kulihat adalah kerumunan orang-orang. Aku mulai mendekat, tapi yang
kulihat kenapa diriku sendiri? Kenapa aku bisa berbaring disana tapi aku
sekarang bisa berdiri disini? Apakah aku sudah benar-benar pulang?
Beberapa orang dikerumunan itu
mulai membicarakan apa yang mereka lihat, “Dia meninggal kelaparan, bu. Lah,
siapa yang berani ngasih makan orang gila?”
Ibuuu, bapaaak, aku pulang.
Terimakasih Tuhan.
Komentar
Posting Komentar