(Cerpen fiktif) Bangku Kosong itu Milik Rindu
Tidak akan ada satupun orang didunia ini yang 100%
menggunakan logika pada cinta. Sama seperti aku. Yara Putria.
Mereka bilang, aku memeiliki kehidupan istimewa yang mungkin
dianggap sempurna oleh sebagian orang yang mengenal ku. Kedua orang tua yang
utuh, kakak perempuan yang selalu bisa berbagi, dan laki-laki itu. Laki-laki
setia yang memperlakukan ku seperti wanita yang paling beruntung di dunia ini.
Namanya Sandika. Tidak terlalu bodoh, tapi tidak terlalu
pintar. Tidak terlalu tampan, tapi tidak terlalu jelek. Tidak terlalu pelit,
tapi tidak terlalu mapan. Yap, semua pandangan itu relatif bagi ku.
Banyak perempuan yang ingin mengalami kisah cinta romantis
yang di berikan Sandika untuk ku. Mulai dari makan malam di resto dengan musik
senada. Bunga yang selalu diberikan Sandika tiap bulan pada tanggal jadi kami.
Sampai kesediaan Sandika untuk mengantar jemput kapanpun dan dimanapun juga.
Sungguh tidak ada celah bagi Yara untuk tidak jatuh cinta. Bahkan tidak ada
celah untuk curiga. Yang ada hanya Yara dan Sandika, yang mulai membicarakan
hari pertunangan mereka berdua.
Sore itu Sandika bertanya, siapa yang mau kamu undang di pertunangan kita?
Memori itu berjalan mundur. Sebuah jaringan yang
mengingatkan ku bahwa kami pernah SMA, sebelum lulus 5 tahun lalu. Yara diam.
Tidak tahu persis nama-nama siapa saja yang harus di urutkan pada cover depan
undangan. Tapi jika boleh mengundang, aku harap ia datang.
Manusia itu makhluk penilai dan dinilai. Manusa juga makhluk
pembanding sekaligus yang di bandingkan. Maka berhak pula bagi Yara saat
membandingkan Sandika dengan laki-laki itu. Ah, percuma! Berfikir berapa
lamapun, tetap Sandika juaranya.
Bukan dia.
Laki-laki itu sederhana. Tidak pendiam, tapi tidak cerewet.
Tidak Humoris, tapi tidak apatis. Tidak sempurna, melainkan sederhana. Ya sama
saja, semuanya relatif bagi Yara. Tapi ada bangku kosong disana. Selalu ada
bangku kosong.
Yara masih ingat saat laki-laki itu menjadi teman
sebangkunya. Bahkan menjadi teman saat Ujian itu bukan lagi jadi rahasia. Ia
memang teman yang bisa diandalkan dalam hal apapun. Selalu siap mengajari tugas
fisika, selalu tertawa pada cerita ku yang bahkan tidak lucu, sampai
memperhatikan hal-hal kecil yang terkadang aku sendiri lupa apa itu
Ia apa adanya. Dan selalu ada.
Suatu pagi bangku itu kosong. Tanpa pamit. Tanpa cerita. Ia pergi.
Seusai liburan kenaikan kelas dua, banyak yang ingin ku
ceritakan. Sama seperti hari-hari sebelumnya, kau selalu tertawa pada
cerita-cerita ku seolah-olah aku seorang pelawak papan atas. Kau selalu
mendorong-dorong kepalaku seolah-olah aku orang paling konyol sedunia. Bahkan
kau terkadang senyum-senyum sendiri saat guru sedang mengajar dikelas dan kau
berbisik, aku ingat cerita kamu.
Aku berusaha untuk apatis. Toh, ia hanya teman sebangku.
Tapi mungkin aku salah. Ia tidak hanya selalu berada di kursi itu, tapi juga di
samping ku. Berkali-kali aku menelfon, mengirim pesan singkat, sampai
mencarinya melalui sosial media di internet. Tetap tidak ada jawaban.
Laki-laki itu seperti masuk kedalam lorong waktu yang tidak
bisa kutarik kembali. Seperti berusaha menghapus cerita yang tidak pernah
diakhiri dengan tanda titik. Bahkan ia, mulai mencuri sebagian waktu ku untuk
bertanya, kemana dia?
Nama mu saja sukar ku temukan, apalagi cerita mu kini kawan?
Selang beberapa tahun ini wajah mu mulai tersamarkan dalam fikiranku, bahkan
aku mulai menyesal, kenapa kita tidak pernah berfoto? Haha. Aku mengikik
sendirian, sama seperti yang pernah kau lakukan dulu, kemudian aku berbisik,
aku ingat cerita kamu.
Sandika tidak pernah nampak istimewa bagiku. Aku mungkin
hanya jatuh cinta pada namanya saja. Karena ia memiliki nama seperti mu.
Bagiku, nama itu terhitung relatif. Terkecuali untuk ini. Mungkin karena namamu
memiliki magnet yang menginginkanku untuk tetap ingat. Sekalipun satu huruf
saja yang membedakan kalian berdua, tapi aku berusaha untuk menilainya
sama-sama baik. Nama yang baik selalu mencerminkan orang yang baik, begitulah
pepatah yang ku pegang. Dan untuk hal ini, Kau juaranya. Dandika.
Undangan itu bertuliskan namamu, bertujuan tapi tanpa
alamat. Tetap tersimpan dan kubawa sampai lecak. Aku harap bisa mengirimkannya
ketangan mu. Sambil berdoa dalam hati, apabila surat ini tidak sampai ke tangan
mu, semoga jalan Tuhan yang memberitahu mu. agar kau datang dengan sendirinya.
Sekalipun beroleh-oleh cinta baru, dan kita saling mengenalkan mereka. Itu
cukup, Karena melihat mu saja aku terobati. Sekalipun itu tak pasti.
Minggu depan hari pertunangan ku. Aku harap kau ada atas
alasan yang sama, kau mengingat ku yang selalu mengingat mu. Tak perlu ada
penyesalan kata cinta yang tak pernah kita ucapkan. Bahkan tak perlu ada kata
cinta lagi yang bisa membuat ku bimbang karena menggandakan. yang ku perlu
adalah tawamu, sambil berbisik, aku ingat cerita kamu.
Dan sepeninggalanmu, bangku itu masih kosong, selalu kosong,
dan tetap kosong. Yang selama ini menempatinya hanyalah seseorang bernama
rindu.
Komentar
Posting Komentar