(Cerpen fiktif) Kutunggu di rumah
Pagi
hari. Agus bangun, membuka jendela dengan gorden coklat muda,
merapihkan tempat tidur, mandi, mengenakan baju kaos putih polos dan
celana jeans panjang, menyisir rambut dengan belahan di pinggir kiri,
berjalan ke dapur, menggoreng telur dadar dan menanak nasi, sarapan
di kursi yang sama, menghadap timur, dengan jendela yang terbuka.
Rutinitas
yang sama, setiap harinya.
Seusai
membersihkan piring makan, ia membaca Koran di halaman belakang
rumah. Tak banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan sebagai pensiunan
pegawai kantor pos. Hingga muncul pesan singkat dari sang istri,
“Selamat
pagi sayang, sudah sarapan? Rencananya besok aku pulang dari rumah
Ibu. Keadaan ibu sekarang sudah agak baikan. Tunggu aku dirumah ya.
Salam cinta, Nandini.”
Agus
tersenyum membaca pesan singkat dari sang istri yang usinya 10 tahun
dibawahnya. Istrinya cantik, tidak terlalu suka ber-make-up ria, tapi
ia tetap cantik. Tiga hari lalu, Nandini pamit kepada Agus untuk
kerumah orang tuanya di Semarang demi menjenguk sang Ibu yang sakit
karena usianya yang renta.
Agus
dan Nandini tinggal di Bandung. Selama beberapa tahun belakangan ini,
agus dan Nandini hanya tinggal berdua saja dirumah. Meskipun usia
mereka sudah tidak belia lagi, tapi tinggal berdua dirumah serasa
bermulan madu kembali semenjak anak mereka, Prita, memutuskan untuk
kuliah di Jakarta.
“Cepat
pulang sayang, hati-hati dijalan, kutunggu kau di rumah, Salam cinta,
Agus.” Sms pun terkirim.
***
Jam 12 malam. Seorang
perempuan datang kerumah, ia bukan pemilik rumah, tapi ia tidak
mengendap-ngendap, karena ia tidak bermaksud mencuri apapun. Ia hanya
datang, mengambil baju kaos putih dan celana jeans kotor, lalu
menyimpan kaos putih dan celana jeans yang sudah bersih kedalam
lemari. Perempuan itu juga tidak lupa menyimpan satu butir telur
didalam kulkas. Lalu mengambil Koran yang yang sudah dibaca Agus pagi
tadi untuk kemudian diletakan di kotak pos, seperti Koran yang baru
terbit pagi itu, meskipun tanggalnya sudah kadaluarnya, 2003, 10
tahun dari sekarang.
Si empunya tentu tidak
tahu atas kedatangan tamu tengah malamnya ini. perempuan ini juga
sengaja datang pada tengah malam saat Agus benar-benar sudah tidur.
Setelah urusannya selesai, ia pun pulang kerumahnya yang hanya
berbeda tiga blok dari sini.
Pagi
hari. Agus bangun, membuka jendela dengan gorden coklat muda,
merapihkan tempat tidur, mandi, mengenakan baju kaos putih polos dan
celana jeans panjang, menyisir rambut dengan belahan di pinggir kiri,
berjalan ke dapur, menggoreng telur dadar dan menanak nasi, sarapan
di kursi yang sama, menghadap timur, dengan jendela yang terbuka.
Rutinitas
yang sama, setiap harinya. Perlu ku ulangi rutinitasnya selanjutnya?
Ah, rasanya sama. Ia akan sarapan dengan sebutir telur, lalu duduk
membaca Koran pagi itu. Hingga muncul pesan singkat dari istrinya,
“Selamat pagi sayang, sudah sarapan? Rencananya besok aku pulang
dari rumah Ibu. Keadaan ibu sekarang sudah agak baikan. Tunggu aku
dirumah ya. Salam cinta, Nandini.”
“Cepat
pulang sayang, hati-hati dijalan, kutunggu kau di rumah, Salam cinta,
Agus.” Sms pun terkirim.
***
Malam
harinya, tepat pukul 12 malam, tidak ada tamu yang datang seperti 10
tahun belakangan ini. tersiar kabar bahwa wanita itu melahirkan,
sehingga ritinitas malamnya pun tidak bisa ia lakukan. Alhasil,
Pagi
hari. Agus bangun, membuka jendela dengan gorden coklat muda,
merapihkan tempat tidur, mandi, lalu membuka lemari pakaian, tidak
ada kaos putih dan celana jeans seperti biasa disana. Ia lalu diam,
memilih untuk mengenakan baju apa. Setelah beberapa lama, Agus hanya
berputar-putar dikamarnya, melihat kaos dan celana jeansnya
tergeletak kotor di lantai. Agus diam, bahkan masih mengenakan
handuk, ia menyisir rambutnya dengan belahan pinggir di kiri,
kemudian berjalan ke dapur. Anehnya, ia juga tidak menemukan sebutir
telur yang bisa ia goreng. Agus diam, sambir berfikir ia berjalan
kedepan rumah untuk mengambil Koran pagi ini. tapi, tidak ada Koran
disana.
Agus
duduk dihalaman belakang, hanya mengenakan handuk, belum sarapan,
tanpa Koran.
Rasanya
tidak menentu. Rasanya ada yang hilang, bukan soal baju, bukan
sebutir telur, ataupun Koran pagi. Rasanya ini lebih dalam.
Tidak
ada sms masuk.
Agus
diam selama beberapa jam, ia kemudian menangis, puncaknya, ia
menjerit dan hilir mudik mencari-cari sesuatu didalam rumah, tanpa
tahu mencari apa. Agus hanya tahu, ada yang hilang, tanpa tahu apa
yang hilang. Agus mulai gila, ia membenturkan kepalanya ke tembok
berkali-kali. Suasana diluar rumah mulai ramai, banyak tetangga yang
mencoba ingin meredam Agus, tapi tidak ada yang berani. Mereka semua
tahu, suatu saat ini akan terjadi. Mereka yang berada diluar rumah
hanya mampu berpura-pura seolah-olah tidak ada apa-apa, karena masuk
pun terasa percuma, karena bukan mereka yang ia cari. Dalam keadaan
ini, posisi orang asing malah akan membuat Agus semakin berontak.
Tapi jika beruntung, suara rintihan dari rumah itu akan hilang,
karena agus tertidur karena lelah mencari.
***
Lusa, Prita datang, dengan tertatih seteleh melahirkan. Ia
terpaksa menemui ayahnya sendirian, sementara anak dan suaminya
menunggu di rumah. Pria datang layaknya mahasiswi yang pulang saat
libur semester. Tampilannya tidak Nampak seperti wanita berusia 27
tahun, ia berusaha menyamarkan hidupnya.
“Ayaaah,”
Panggil Prita.
Agus
terbangun, lalu Prita menyerahkan kaos putih dan celana jeans
kepadanya. Sambil menunggu agus berpakaian, Prita dengan sigap
menggorengkan telur dengan ditemani oleh Koran pagi.
Agus
duduk sambil menyantap telur dadarnya, “Bagaimana kuliah mu? Sudah
selesai skripsi nya?”
Prita
tersenyum, “Sudah Ayah, nanti undangan wisudanya aku kirim
kerumah.”
Prita
bertahan dirumah sampai Ayahnya tidur, rutinitasnya kembali seperti
semula. Mengambil baju kaos putih dan celana jeans kotor, lalu
menyimpan kaos putih dan celana jeans yang sudah bersih kedalam
lemari. Perempuan itu juga tidak lupa menyimpan satu butir telur
didalam kulkas. Lalu mengambil Koran yang yang sudah dibaca Agus pagi
tadi untuk kemudian diletakan di kotak pos, seperti Koran yang baru
terbit pagi itu, setelah tugasnya selesai, ia kembali pulang kerumah
yang jaraknya tiga blok dari sini, dengan dijemput oleh suaminya.
Pagi
harinya, Prita tak lupa mengirimkan pesan singkat untuk Ayahnya,
“Selamat pagi sayang, sudah sarapan? Rencananya besok aku pulang
dari rumah Ibu. Keadaan ibu sekarang sudah agak baikan. Tunggu aku
dirumah ya. Salam cinta, Nandini.”
Sambil
menyusui anaknya, Prita mengenang kembali hidupnya, seperti berjalan
mundur. Kedua orang tua yang tidak bisa menghadiri wisudanya,
pernikahannya, serta kelahiran cucunya. Prita tahu betul bagaimana rasanya kehilangan ibu akibat kecelakaan bis, dan Ayah yang
menderita Alzheimer, setelah tahu kepergian istrinya.
Tapi Agus, selalu bangun setiap pagi seperti tidak tahu bahwa Nandini tidak
akan pernah pulang, Agus yang selalu tersenyum setelah menerima sms tanpa tahu bahwa itu adalah Prita, Kutunggu dirumah. ucapnya dalam hati.
Komentar
Posting Komentar