(Cerpen) Bukti Cinta Ibu untuk Ayah


Ini masih terlalu dini untuk bangun tidur. Rasanya masih sekitar jam satu. Malam itu aku mendengar suara sesorang tersengguk-sengguk seperti sehabis menangis. Aku mencoba mencari kejelasan dalam telingaku. Sepertinya itu ibu. Kemudian aku intip perlahan. Ia duduk diatas sajadahnya lengkap dengan mukena dan Al-Quran. Aku sudah sering melihatnya mengaji setelah tahajud. Tapi pemandangan ini lain, ia menangis. Dan aku tidak tahu kenapa.

Aku mungkin anak bodoh, yang malah canggung untuk bertanya pada Ibu, kenapa ia menangis. Tapi aku memang tidak tahu harus berbuat apa.

Pagi harinya, seperti biasa Ibu menyiapkan sarapan dan membantuku bergegas kesekolah. Kali ini pemandangan nya berbeda. Ia tersenyum seperti biasa. Tetap sigap menjadi ibu rumah tangga. Aku malah jadi berfikir, ahh mungkin yang semalam ku lihat itu mimpi. dan aku jalani hari ini seperti biasa, tanpa bertanya dan membahas kabar Ibu.

Beberapa bulan kemudian. Sewaktu subuh, Ibu berteriak, mengadu kesakitan. Aku segera berlari dan memeluknya. ''Ibuuu, Ibuuu kenapa?''
Tapi Ibu hanya terus-terusa mengaduh, ''sakittttt, sakitttttt''
Sungguh, aku tidak tahu kenapa. Sesegera mungkin aku membangunkan Ayah yang tertidur didepan TV. Setelah Ayah bangun, kapi pun membawa ibu ke rumah sakit. Dokter mengatakan Ibu terkena Vertigo. Sakit dikepalanya mengakibatkan ia harus dirawat dirumah sakit selama beberapa hari. Saat itu Ayah bilang, ia akan pergi keluar kota selama beberapa hari, akhirnya aku sebagai anak satu-satunya bertugas penuh untuk menjaga Ibu dirumah sakit.

Setiap harinya Ayah selalu bertanya pada ku tentang keadaan Ibu melalui telfon. Dan setiap harinya, Ibu mengalami peningkatan kesembuhan. Semoga besok Ibu sudah diizinkan pulang. fikirku. Siang itu setelah ku suapi makan siang, Ibu hanya diam saja, ia masih nampak pucat, tapi kali ini ia sudah tidak mengeluh kesakita. Ibu menatapku, kemudian ia tiba-tiba menangis. Aku memeluknya dan bertanya, ''Ibu kenapa?''. Ibu hanya tersenyum, seolah tidak apa-apa.
''Nak,'' Panggil Ibu, ''Ayah mu belum pulang?'' Tanyanya.
''Belum bu, Ibu sabar ya, mungkin Ayah besok baru bisa pulang dari luar kota.'' Aku mencoba menenangkan Ibu.
''Semisal Ayah mu ngga pulang lagi kerumah kita gimana?''
Aku tertawa kecil. ''Ah ibu ini, jangan mikirin yang macem-macem, gak usah khawatir buu. Ayah pasti pulang kok. kan biasanya Ayah memang suka keluar kota.'' jawabku santai.
''Setelah ini, mungkin Ayah mu tidak akan pulang kerumah, nak'' Ujarnya nampak serius.
''Kenapa buuu?'' Aku mencoba untuk mendengarkannya dulu.
''Ayah mu mungkin sekarang sudah punya keluarga baru. Kemarin ia meminta izin pada Ibu untuk menikah lagi. Ibu memang sudah mencoba untuk menolak, bahkan Ibu sudah meminta untuk bercerai. Tapiiii, setelah Ibu fikir-fikir, sebaiknya Ibu mengizinkan Ayah mu untuk menikah lagi.'' Suara nya semakin lirih.
Aku diam, rasanya sulit untuk bicara apa-apa. Seperti ada jarum yang menusuk tubuh ku bertubi-tubi, berita ini memang tidak membuat ku berdarah, tapi rasanya sakit, sakitttt sekali.
''Ibu mencoba untuk mengikhlaskan Ayah mu untuk perempuan itu. Ibu cuma mau Ayah bahagia, mungkin cuma itu yang bisa Ibu berikan untuk membahagiakan Ayah.''
Sekali lagi aku memeluknya, ''Ibu, Ibu jangan sedih yaa, sekalipun Ayah udah ga ada, aku akan selalu ada buat Ibu. sekarang Ibu istirahat lagi aja ya, supaya besok Ibu bisa pulang.'' Aku menyelimutinya. kemudian ia mencoba memejamkan mata dengan berkaca-kaca. Sesegera mungkin aku berlari dari ruangan Ibu. Aku duduk diantara koridor rumah sakit, jauh dari jangkauan Ibu. Aku menangis. Itu saja yang bisa ku lakukan.

Ayah mencoba untuk menghubungi ku, seperti biasa ia bertanya tentang keadaan Ibu. Tapi kali ini aku muak. Aku mengingat, saat ibu sedang sakit, Ayah malah sibuk dengan perempuan lain. Sekalipun aku tidak berhak marah, tapi aku berhak untuk tidak memaafkannya. Aku mengirim pesan pada handphone nya, ''Aku tahu apa yang anda lakukan sekarang. Mungkin aku tidak pantas berbicara seperti ini. Aku dilahirkan dari rahim seorang Ibu, dan aku pantas membela Ibu. Sekarang aku terima apapun keputusannya, Anda memilih siapa diantara kami, Ibu atau perempuan itu?'' Ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk berbicara seperti ini. Aku merasa seperti buah simalakama. Seperti anak durhaka. Seperti tidak tahu diri. Bahkan seperti kotoran.

Tapi dibanding Ayah, aku lebih sayang Ibu.

Keesokan paginya Ayah pulang. Ia menjemput Ibu pulang. Aku mencoba bersikap seperti biasa untuk tidak membuat Ibu khawatir. Sesampainya dirumah, Ayah malah memarahiku atas nada bicara ku yang seperti anak urakan. Aku memang lemah, dan aku menangis. Ibu keluar dari kamar kemudian berbicara, ''Kamu tidak pantas berbicara seperti itu. Anak mu ini benar, Ia sudah dewasa, ia bahkan berhak melakukan apa yang suka dan tidak. Sama seperti mu, yang sudah dewasa dan berhak melakukan apa yang kau suka dan tidak.''

Ayah diam, kemudian ia membanting asbak diatas meja ruang tamu kami keatas lantai. Ia kesal. Kesal pada keluarga ini yang tidak bisa mengerti keadaannya. Aku pun kesal pada Ayah ku yang tidak bisa mengerti keadannya. Bahkan Ibu pun mungkin kesal pada Ayah atau pun aku ayang tidak bisa mengerti keadaannya. Lalu harus apa lagi?

Tuhan, kali ini aku menemui-Mu.
bicaralah pada hamba Tuhannn..

Aku mengantar Ibu untuk beristirahat kedalam kamar, disana Ibu berbicara pelan, ''Nak, tidak usah marah. Supaya Tuhan bisa membedakan mana yang baik dan tidak. yaa..''
Aku tersenyum, ''Iya Ibu.''

Aku pun masuk kedalam kamar ku, memikirkan hak dan tanggung jawab ku sebagai seorang anak. Baik aku ataupun Ibu tidak mau membahas ini lebih dalam. Sekalipun Ayah tetap memilih kedua nya, kami harap, kami selalu bahagia. Kami cukup berdoa pada Tuhan, agar Tuhan selalu membahagiakan mu Ayah.

Tapi bagi ku, aku hanya menganggap, perempuan yang dinikahi Ayah adalah perempuan yang tidak mampu. Anggap saja sebagai infaq yang kami lakukan pada perempuan yang berhak menerimanya, semoga aku ikhlas.




Aku mungkin tidak sedewasa Ayah. Tapi aku tahu, cinta Ibu lebih besar dibandingkan cinta dari perempuan itu kepada Ayah. Dan aku percaya, Ayah tahu itu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roti Priangan Sukabumi

Cuangki

Dongeng Sederhana Untuk Adik