Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Paralayang Pantai Parangtritis

Gambar
"Gimana kalo kita bikin project? project kecil-kecilan aja. Gak perlu blak-blakan di kasih tau ke orang-orang, ya anggap aja nyalurin hobi sama pikiran-pikiran yang ada diotak. Deal?" Dengan semangat, malam ini ku beberkan keinginan ku untuk merekam cerita tentang jogja pada parter setia ku. Sarjoko. Aku tau, kita punya pemikiran yang sama. Khususnya kita punya ketertarikan yang sama untuk mengeksplore Jogja. gak perlu muluk-muluk, cukup dalam satu bulan ini kita ceritakan tentang Jogja. Kita gak berharap banyak sama orang-orang buat setia baca project ini. Toh, ini intinya cuma hobi, man! Hari ini, tanggal 1 Desember, kita tarik garis lurus menuju jalan yang paling selatan Jogja, ke Pantai Parangtritis. Sudah lama, banyak peraturan yang melarang orang-orang untuk berenang di laut. Cerita ini bukan soal kecipak-kecipuk dipinggir laut atau main pasir, karena pantai gak melulu soal berenang di laut atau berjemur dipantai. And! Eng ing eeeeng..  Para...

Ina Arim

Sudah lama ingin ku ceritakan ini. menceritakan bagaimana kita mengenal sebuah budaya baru dan sosok wanita didalamnya. Saat itu tahun 2012. Kami berduapuluh memilih untuk mengambil KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang menjadi bagian akademi kampus ke Lombok. Jangan bayangkan bagaimana keindahan pantai Lombok menyambutmu disana, tapi bayangkan bagaimana tanah Lombok berbeda dengan tanah Jawa. Pertama, bahasa Sasak yang masih asing ku dengar. Bagiku sendiri, aku bisa bergumam berbahasa sunda dengan leluasa jika aku berada ditengah orang berbahasa jawa. Artinya adalah, sejelak apapun kalimatmu, mereka tidak akan pernah mengerti. Dan disini, sejelek apapun mereka mengatakan hal tentang kita, kita juga belum tentu akan mengerti. Kedua, Lombok itu daerah agamis, kau bisa menjumpai banyak sekali masjid-masjid megah layaknya istana sekalipun rumah-rumah mereka biasa saja. Masjid itu tentu dari warga sekitar perkampungan masing-masing. Mereka diwajibkan membayar iuran atau menyisihkan uang...

So Long Budy

Gambar
Aku mahasiswa yang menetap di kota Jogja dengan jarak sekitar 12 jam untuk sampai ke rumah ku di Sukabumi. Suatu ketika aku memutuskan untuk pulang atas alasan rindu. Bukan hanya kepada keluarga ku, tapi juga dia. Keputusan pulang ini ku ambil karena beberapa waktu lalu aku menyaksikan film Toy Story. Kau tau, entah aku yang terlalu cengeng atau memang film itu mengingatkan ku akan sebuah pertemanan yang kubentuk sejak kecil. bersamanya aku bisa seolah-olah membentuk keluarga, menjadi dewasa, atau hanya sekedar bercerita. Aku rindu saat-saat itu. Sarah McLachlan – When She Loved Me Kali ini aku pulang, membawa tenaga untuk membongkar sekotak kardus yang berada disudut gudang. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membukanya, bahkan aku juga tidak ingat apakah aku yang menyimpannya disudut sana. Saat ku buka, mereka seperti menyapa. seperti tahu, hari ini akan datang. Mari kukenalkan Aku masih ingat, ketika aku maish duduk di bangku kelas 4 SD, mama mentert...

(Cerpen fiktif) Layar Handphone Ku

Ada namanya disana. Tepatnya dilayar Handphone ku. Aku tidak tahu sejak kapan aku memandanginya. Sepertinya sudah cukup lama. Sepuluh menit. Lima belas menit, atauuuu mungkin setengah jam. Dan semua itu ku lakukan hanya saat menunggu balasan mu. Atau paling tidak, membaca ulang isi sms mu tadi. Beeeep beep, dering handphone ku . “Oke deh, makasih yaa, Sarah.” Isi sms mu, yang sebelumnya bertanya tentang buku ekonomi karya guru besar fakultas kita.                 “Sama-sama, Ahmad.” Balas ku disertai senyum selebar jalan raya.                 Aneh rasanya. Bagaimana aku bisa begitu bahagia hanya karena menerima sms. Kalimatnya pun sangat sederhana. Padahal satu tahun lalu, menerima sms mu, menemuimu, dan berbicara dengan mu, rasanya biasa saja. Sekarang? Tidak.           ...

Bagaimana?

Semua anak yang punya orang tua selalu berharap bisa membahagiakan orang tuanya. Ibu bilang, ia bahagia karena sudah melahirkanku, menjadikanku anak yang sopan santun, dan rajin beribadah. Ayahku bilang, ia bahagia karena sudah bisa mendidiku untuk tetap memiliki semangat belajar yang tinggi dan bisa masuk ke sekolah-sekolah ternama. Tapi, tugasku belum selesai. Aku fiki, tugasku sederhana. Menjadi anak yang taat, sekolah, kerja, lalu menikah. Ternyata tidak semudah itu. Aku masih ingat ketika ibu memamerkan cerita-ceritanya tentang aku pada teman-teman arisannya. Aku yang bisa masak dan berdandan lebih baik dari perempuan pada umumnya. Ibu terlihat bangga sekali. Dan aku masih ingat ketika Ayah memamerkan cerita-cerita tentang aku pada teman-teman kantornya. Aku yang berhasil meraih prestasi disekolah kemudian masuk ke perguruan tinggi terbaik. Ayah juga terlihat bangga sekali. Tapi, tugasku masih belum selesai. Ibu bilang, anak temannya sudah diangkat...

(Cerpen fiktif) Kutunggu di rumah

Pagi hari. Agus bangun, membuka jendela dengan gorden coklat muda, merapihkan tempat tidur, mandi, mengenakan baju kaos putih polos dan celana jeans panjang, menyisir rambut dengan belahan di pinggir kiri, berjalan ke dapur, menggoreng telur dadar dan menanak nasi, sarapan di kursi yang sama, menghadap timur, dengan jendela yang terbuka. Rutinitas yang sama, setiap harinya. Seusai membersihkan piring makan, ia membaca Koran di halaman belakang rumah. Tak banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan sebagai pensiunan pegawai kantor pos. Hingga muncul pesan singkat dari sang istri, “Selamat pagi sayang, sudah sarapan? Rencananya besok aku pulang dari rumah Ibu. Keadaan ibu sekarang sudah agak baikan. Tunggu aku dirumah ya. Salam cinta, Nandini.” Agus tersenyum membaca pesan singkat dari sang istri yang usinya 10 tahun dibawahnya. Istrinya cantik, tidak terlalu suka ber-make-up ria, tapi ia tetap cantik. Tiga hari lalu, Nandini pamit kepada Agus untuk kerumah orang tuanya di Semarang d...

(Cerpen Fiktif) Jadilah laki-laki

“Aku sayang kamu.” Aneh rasanya mendengar kalimat itu. Bukan karena aku tidak menyayangimu, tapi, ah aku tidak tahu. *** Masih terasa pekat ingatan ku, saat dibangku SMA dulu sepulang sekolah, ada kita. Kita bersama teman-teman sebaya lain. Dibawah pohon beringin sekolah, saling bercerita, saling mengejek, dan tidak bosan-bosannya saling mendukung. Ada Shinta, Mitha, Dara, Dian, Ilham, Doni, dan kamu Rifki. Kita berdelapan tahu sejak dulu aku memang paling dekat dengan kamu. Bukan karena kita saling mendukung, tapi karena selalu tega untuk saling mencela. Kamu yang pernah menyembunyikan sepatu ku sepulang sholat zuhur dan aku yang tega menendangmu sampai hampir terperosok tempat sampah. Iyaa, masa muda kita. Tak pernah terikat cinta. Kebiasaan konyol kita membuatku sadar bahwa aku memang menyukaimu. Dan kekonyolan mu yang mulai berubah jadi salah tingkah saat menemuiku juga mengisyaratkan perasaan yang sama. Bodohnya, teman-teman yang lain malah semakin memojokan kita ...